Saturday 19 March 2011

        Beda orang memang beda sifat, tapi beda kawan bukan seharusnya beda kelakuan. Memang tak ada orang yang sama, dengan rupa sama dan kelakuan yang sama, tapi setidaknya rasa kawan itu pasti ada disetiap orang. Yang kurasakan disini sungguh berbeda dengan apa yang kujalani di tempatku tumbuh besar "Padang".
         Di sana, aku mempunyai teman yang benar kurasakan teman, bahkan sudah ku anggap saudara ku sendiri. Kami selalu bersama, tapi bukan berarti kami tidak pernah berselisih paham, bahkan pada tahap bertengkar pun bisa dibilang sering. Tapi ada beberapa hal yang hanya ku temukan dibeberapa teman ku, salah satunya temanku sejak aku kecil.
          Kami memang bukan manusia sempurna, tapi rasa pertemanan itu kental kami rasakan, jika satu orang dari kami sakit, maka semua akan merasakan sakitnya. Temanku yang itu memang tidak bisa dilupakan. Saat sekarang ini pun aku merasa canggung tanpa mereka. Biasanya kami lalui waktu bersama, ingat bukan berarti kami adalah homoers.
          Salahsatu yang tidak kurasakan dengan temanku sekarang di tempat ini adalah berupa invitation atau ajakan, ajakan mau pergi kemana, mau ada acara apa, dan bla bla bla. Semua ajakan itu hanyalah basa-basi. Aku tahu itu, maka dari itu tidak pernah aku pergi jika aku merasa itu tidak perlu buatku. Ini sangat berbeda dengan mereka temanku yang aku ceritakan diatas. Ajakan kami bukanlah ajakan basa-basi, akan tetapi bisa disebut ajakan memaksa, ada atau tidak ada duit itu bukan masalah kami. Jika ada satu orang yang berduit atau sebaliknya maka semuanya akan aman. Memang bagi sebagian orang itu merugikan bagi mereka, karena mereka menganggap teman itu adalah sebatas manusia yang hanya mereka kenal tetapi tidak saling memiliki rasa keluarga, karena itu lah orang merasa begitu.
           Tetapi berbeda dengan kami, setiap ada acara, setiap ada rencana itu harus dilaksanakan bersama. Lebih baik acara itu batal daripada salah satu dari kami tidak bisa ikut. Tidak ada duit itu bukan alasan bagi kami.karena kami tidak hidup menghandalkan duit, bukan berarti kami tak memerlukan duit. Tapi kami sahabat yang bersaudara.
           Aku rindu kalian teman ( Andre, Oji, Petet) tunggu aku sesi pulang berikutnya. kita gila-gilaan lagi teman!

Monday 7 March 2011

Teori Pentaatan Hukum

A.      Teori Hukum Alam ( natural law theory )
Asal-usul teori hukum alam yang terletak di Yunani Kuno. Banyak filsuf Yunani dibahas dan kodifikasi konsep hukum alam, dan memainkan peran penting dalam pemerintahan Yunani. Kemudian filsuf seperti St Thomas Aquinas, Thomas Hobbes, dan John Locke dibangun di atas karya orang Yunani dalam risalah teori hukum kodrat mereka sendiri. Banyak dari filsuf menggunakan hukum alam sebagai kerangka kerja untuk mengkritik dan reformasi hukum positif, dengan alasan bahwa hukum positif yang tidak adil berdasarkan prinsip-prinsip hukum alam secara hukum.
Anda sudah akrab dengan teori alam, meskipun Anda mungkin tidak menyadarinya. Ide yang Universal tentang keadilan yang lintas budaya adalah contoh yang sangat baik dari hukum alam. Banyak anak, misalnya, menarik rasa keadilan dalam sengketa, dan kebanyakan orang di seluruh dunia setuju pembunuhan yang parah adalah pelanggaran hukum alam. Banyak teori hukum alam akar teori mereka dalam gagasan bahwa semua manusia pada dasarnya masuk akal, dan bahwa motif mereka didorong oleh rasa pelestarian diri.
"Hukum alam" istilah ambigu. Hal ini mengacu pada jenis teori moral, serta jenis teori hukum, tetapi klaim inti dari dua jenis teori yang logis independen. Ini tidak mengacu pada hukum alam , ilmu hukum yang bertujuan untuk menggambarkan. Menurut teori hukum kodrat moral, standar moral yang mengatur perilaku manusia, dalam arti, obyektif berasal dari sifat manusia dan sifat dunia. While being logically independent of natural law legal theory, the two theories intersect. Sementara yang logis independen dari teori hukum alam hukum, dua teori berpotongan. Namun, sebagian dari artikel akan fokus pada teori hukum alam hukum.
Menurut teori hukum kodrat hukum, kewenangan standar hukum tentu berasal, setidaknya sebagian, dari pertimbangan yang berkaitan dengan jasa standar-standar moral. Ada beberapa macam teori hukum alam hukum, berbeda dari satu sama lain sehubungan dengan peran yang memainkan moralitas dalam menentukan otoritas norma hukum. Yurisprudensi konseptual John Austin menyediakan satu set kondisi perlu dan cukup untuk keberadaan hukum yang membedakan hukum dari non-hukum di setiap dunia yang mungkin. Teori klasik hukum alam seperti teori Thomas Aquinas berfokus pada tumpang tindih antara hukum alam dan hukum teori-teori moral. Demikian pula, neo-naturalisme Yohanes Finnis merupakan pengembangan dari teori hukum klasik alam. Sebaliknya, naturalisme prosedural Lon L. Fuller adalah sebuah penolakan terhadap gagasan naturalis konseptual yang ada perlu kendala moral substantif pada isi hukum. Terakhir, teori Dworkin's Ronald merupakan respon dan kritik terhadap positivisme hukum . Semua teori berlangganan ke satu atau lebih prinsip dasar teori hukum alam hukum dan penting bagi perkembangan dan pengaruhnya.
Teori Hukum Alam adalah suatu aliran yang menelaah hukum dengan bertitik tolak dari keadilan yang mutlak, artinya bahwa keadilan tersebut tidak dapat diganggu. Bersifat universal dan jelas ( dengan sendirinya ) artinya berlaku untuk semua orang, berlaku tanpa mengenal batas waktu  ( abadi )  serta berlaku di mana saja.
Teori ini dianut hingga abad pertengahan dan bisa dibedakan antara teori hukum alam yang bersumber dari agama yang mengembalikan segala sesuatunya pada kehendak tuhan, misalnya  bahwa orang menaati hukum karena tuhan atau alam menghendakinya demikian. Sedangkan aliran hukum alam lainnya berdasarkan pada akal atau rasio manusia bahwa orang menaati hukum itu karena menurut akal sebaiknya manusia itu menaati hukum.
Teori ini juga menyatakan bahwa sumber hukum yang baik adalah budi pekerti, jadi antara hukum dan moral tidak dapat dipisahkan. Umumnya, penganut hukum alam ini memandang hukum dan moral merupakan pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral. Aliran atau teori hukum alam ini dikemukakan antara lain oleh Aristoteles, Thomas Aquino, Hugo de Groot, dan Rudolf Stammler.
a.       Ajaran hukum alam Aristoteles
Berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum yang tidak bergantung dari pandangan manusia akan tetapi berlaku untuk semua kapan saja dan dimana  pun dia berada yang bersifat mutlak, serta selaras dengan kodrat manusia.

b.       Ajaran hukum alam Thomas Aquino
Berpandangan bahwa dalam hukum abadi merupakan rasio ke-Tuhanan sebagai landasan bagi timbulnya segala undang – undang atau berbagai peraturan  hukum lainnya dan memberikan kekuatan mengikat  pada masing – masing peraturan hukum tersebut. Konsep Thomas Aquino dapat digambarkan dalam bentuk skema berikut




Principia Prima : norma – norma kehidupan yang berlaku secara fundamental, universal dan mutlak.
Principia Secundaria : norma – norma keidupan yang tidak fundamental, tidak universal dan tidak mutlak melainkan bergantung pada manusianya.
c.       Ajaran hukum alam Hugo de Groot
Berpendapat bahwa hukum alam bersumber dari akal budi manusia. Pembawaan dari setiap manusia dan merupakan hasil pertimbangan dari akal manusia itu sendiri. Contohnya dengan menggunakan akalnya manusia memahami apa yang adil dan apa yang tidak adil. Manusia harus hidup sesuai dengan kodratnya yang mempunyai akal maka manusia harus hidup menurut kehendak akalnya.

d.       Ajaran hukum alam Rudolf Stammler
Mengatakan bahwa kebenaran hukum itu selalu bergantung pada keadaan, waktu dan tempat. Karena didasari pada suatu kenyataan bahwa adanya hukum adalah tidak mungkin hukum itu isinya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat  yang berbeda – beda, mungkin juga ditemukan suatu hukum yang benar ( Richtiges Recht ), yakni hukum yang baik dan adil suatu bangsa tertentu dan untuk waktu tertentu asal saja dipahami  benar – benar mengenai kebutuhan masyarakat yang terdiri dari orang – orang orang yang berkehendak bebas dikatakan sebagai masyarakat yang dicita–citakan ( social ideal ).

B.      Mazhab Sejarah (Historical Rechtsshcule)
Mazhab ini merupakan reaksi dari 3 (tiga) hal yakni;
1.       Rasionalisme abad 18 yang mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondidi nasional.
2.       semangat revolusi prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi cosmopolitan.
3.       Pendapat yang berkembang saat itu mengenai pelarang hakim menafsirkan undang-undang karena menganggap undang-undang dapat memecahkan semua masalah
Mazhab yang menentang universalisme sekaligus timbul pada zaman gerakan nasionalisme di eropa ini mengarahkan perhatian hukum nasional pada jiwa bangsa. Tokoh pada mazhab ini anatara lain; Von Savigny, Puchta dan Henry summer Maine.
1.       Frederic Karl Von Savigny (1770-1861)
Ia menganalogikan timbulnya hukum dengan timbulnya bahasa suatu bangsa dengan segala ciri dan kekhususannya. Menurutnya hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tapi karena perasaan keadilan yang terletak didalam jiwa bangsa itu (Instinktif). Hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat, ia mengingatkan untuk membangun hukum study terhadap sejarah suatu bangsa mutlak dilakukan.
Pokok-pokok pemikiran Frederic Karl Von Savigny ;
·         Masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian.
·         Karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
·         Hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif).
·         Jiwa bangsa (Volkgeist) itulah yang menjadi sumber hukum.
·         Das Rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke.
·         Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.




2.       Puchta (1798-1846)
Murid Savigny ini berpendapat bahwa hukum terikat pada Jiwa bangsa yang bersangkutan dan dapat berbentuk adat istiadat, undang-undang dan karya ilmuawan hukum.
Puchta membedakan pengertian bangsa ini dalam dua jenis :
o    Bangsa dalam pengertian etnis, yang disebutnya “bangsa alam”.
o    Bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
    
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara). Sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.    
·         Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.
·         Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang.
·         Adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan negara.

3.       Henry Summer Maine (1822-1888)
Sumbangan henry bagi study hukum dalam masyarakat, terutama tamapk dalam penerapan metode empiris, sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan umum.

C.      Teori Theokrasi
Teori ini menganggap bahwa hukum itu adalah kemauan tuhan. Dasar kekuatan hukum dari teori ini ialah kepercayaan tuhan, perintah tuhan di tulis dalam kitab – kitab suci. Tinjauan mengenai hukum dikaitkan dengan agama dan kepercayaan. Selain itu juga dasar – dasar ajaran tentang legitimasi kekuasaan hukum, teori ini berkembang di Barat diterima sampai zaman Renaissance ( abad 17 ). Penganut tetap teori theokrasi  ini seperti katolik, islam dan lain sebagainya, teori ini dikemukakan oleh Friederich Stahl.
kata kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Apabila kata daulat itu disandarkan pada kata Tuhan, maka ia mempunyai arti kekuasaan tertinggi adalah Tuhan. Pemerintahan yang berdaulatkan Tuhan adalah sebuah pemerintahan yang meletakan pucuk kekuasaannya pada Tuhan.
Teori kedaulatan Tuhan adalah sebuah teori yang dikemukakan tokoh penganut-penganut teori teokrasi. Sebagian dari mereka adalah Augustinus (354-430 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M) dan Marsilius (1280-1343 M).
Pendapat mereka sebenarnya sama. Tuhan ditetapkan sebagai pemilik kekuasaan yang tertinggi. Akan tetapi persoalan yang diperdebatkan adalah siapa di dunia ini yang mewakili Tuhan, Raja ataukah Paus?
Agustinus adalah orang yang paling awal memberi gagasan ini. Beliau berpendapat bahwa Paus adalah orang yang mewakili Tuhan di dunia, atau bisa dimaksud dengan di suatu negara. Pemikiran beliau ini tertulis di dalam sebuah karya tulisnya yang berjudul City of God (Kerajaan Tuhan).
Selanjutnya, datanglah Thomas Aquinas dengan teori baru dalam kadaulatan Tuhan. Beliau mengemukakan sebuah teori bahwa kekuasaan raja dan Paus itu sama, hanya saja perbedaannya berada ditugasnya yaitu raja di lapangan keduniawian, sedangkan Paus di lapangan keagamaan.
Perkembangan selanjutnya adalah teori yang dibawa oleh Marsilius. Marsilius mengajarkan teori baru yaitu kekuasaan tidak dimiliki seorang Paus, akan tetapi dimiliki negara atau raja. Menurut ajaran Marsilius, raja adalah wakil daripada Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia ini.
Teori kedaulatan Tuhan ini berkembang pada abad ke 5 M sampai abad ke 15 M. Perkembangan teori ini berjalan bersama dengan perkembangan agama baru pada masa itu, yaitu agama Kristen, yang diorganisir pihak gereja yang dikepalai oleh Paus. Pada masa itu, negara-negara Eropa dijalankan oleh dua organisasi kenegaraan, yaitu pihak gereja yang dikepalai oleh Paus, dan pihak negara yang dikepalai oleh raja-raja sesuai dengan daerah masing-masing. Ini disebabkan oleh agama Kristen adalah agama resmi negara-negara di Eropa pada masa itu setelah perjuangan yang kuat dari pihak gereja dalam menyebarkan agama Kristen melawan kepercayaan patheisme atau paganisme yang dipegang oleh raja-raja yang menganggap bahwa Kristen mengancam kewibawaan raja.
Pada saat Kristen sukses menjadi agama resmi negara-negara di Eropa, gereja pun mulai mendapat kekuasaan dalam mengatur negara, bukan saja urusan keagamaan, akan tetapi urusan keduniawian juga. Maka tidaklah jarang terjadi dua peraturan dalam satu hal. Satu peraturan dari raja, dan kedua peraturan dari gereja. Selama peraturan tersebut tidak berbenturan, maka tidak menjadi masalah. Tetapi, apabila kedua peraturan itu saling bertentangan, maka barulah timbul persoalan, peraturan manakah yang patut dipatuhi. Maka peraturan yang paling tinggilah yang akan diberlakukan. Persoalan inilah juga yang menjadi penyebab munculnya perdebatan soal kedaulatan Tuhan.
Selanjutnya, dengan munculnya teori yang dibawa oleh Marsilius, pemerintahan di Eropa menjadi berubah. Dulunya sebuah pemerintah yang sangat menghormati pihak gereja Catolik Roma, sekarang berubah menjadi pemerintahan yang diperintah oleh raja yang kekuasaannya digerakkan dengan cara absolut. Karena seorang raja tidak merasa bertanggung jawab kepada siapa pun kecuali Tuhan. Mereka merasa berhak untuk melakukan apa saja. Kenyataan ini terlihat jelas pada zaman renaissance.

D.     Teori Kedaulaan Rakyat ( Perjanjian Masyarakat )
Konsep modern tentang kedaulatan awalnya diungkapkan oleh ahli hukum Jean Bodin (1530-1596) sebagai penanda lahirnya teori kedaulatan rakyat. Daulatnya Bodin dipahami sebagai kekuasaan tertinggi, abadi, dan tak terpisahkan, ditandai dengan kemampuan untuk membuat suatu hukum tanpa persetujuan, dari pihak lainnya. Artinya menentukan sesuatu.
Kedaulatan itu bisa dimiliki oleh penguasa tunggal, kelompok tertentu, atau seluruh elemen warga. Bisa dalam bentuk pemerintahan persemakmuran, bisa juga sebagai monarki, aristokrasi, atau negara bangsa. Tanpa itu, status itu kumpulan manusia saja, bukanlah negara dan sama sekali bukan kedaulatan, bisa didudukkan sebagai crowd, sebentuk kerumunan tanpa pemerintahan dan kekuasaan.
Dalam Six livre de la République (1576; Enam buku persemakmuran) Bodin cenderung mendukung monarki mutlak, tetapi ide-ide hukum warisan abad pertengahan dan konflik politik pada masa itu telah membawanya ke dalam beberapa kontradiksi ide, dan Bodin cenderung perubahan ke depannya.
Thomas Hobbes (1588-1679), memberikan teori yang paling logis dari semua teori kedaulatan. Puncak abstraksi ada di dalam karya-Nya, Leviathan (1651), yang mengabaikan fakta sejarah dari pemikiran sebelumnya. Walau sama saja dengan Bodin, konsep Hobbes kedaulatan tampak serupa dalam hal kekuasaan absolut, keutuhan, dan tampilan voluntaris dari hukum
Tapi premis lainnya sepenuhnya berbeda. Manusia masuk dalam citra organis Aristoteles, bahwa manusia adalah binatang sosial dan politik: mereka adalah makhluk egois yang saling bermusuhan satu sama lain. Arena sosialnya adalah sama dengan keadaan alam liar dan buas, di mana yang namanya kedaulatan itu artinya adalah perasaan aman diri masing-masing dan kelompoknya.
Barangkali penjelasan Hoobes inilah yang tengah disaksikan oleh generasi politik modern saat ini. Di mana ideologi liberalisme, yang dibuka kerannya oleh revolusi Perancis, tengah dipraktikan di pelbagai kekuasaan dunia. Lambat laun, kekuasaan akan di ambil oleh para klik [kelompok ekslusif].
Para klik ini bukan raja, bukan penguasa kharismatik, bukan pula tuan tanah. Bentuknya adalah kekuasaan rakyat dari suatu kelompok kecil yang menjadi kuat, sampai akhirnya akan dimunculkan tokoh tirani di atas pucuknya. Tirani yang didasarkan pada undang-undang di bawah todongan fee para pengusaha pendukung klik.
Ini hanya penjelasan kecil mengenai tahap demi tahap dari revolusi Perancis yang masih laku sampai saat ini di berbagai negara berkembang, dari Mesir, Tunisia, Indonesia, Thailand, bahkan diam-diam di Amerika Serikat. Ketika raja kharismatik di penggal kepalanya [Lodewijs XI], maka yang maju ke depan adalah pimpinan agitatif [Robespierre].
Ketika pimpinan agitatif dipenggal, yang memimpin adalah kongsi [triumvirat], kemudian majulah seorang diktator kejam [Napoleon]. Dan berakhir di bawah pimpinan klik, yang memimpin demi popularitas dan cari aman. Periode itu mirip sekali dengan kepemimpinan modern Indonesia, dari pemerintahan raja-raja kecil kepada Soekarno, Supersemar, Soeharto, lantas kali ini SBY.  
Apakah pada akhirnya rakyat telah berdaulat? Wah, tampaknya hanya teorinya saja.
Teori ini merupakan ajaran dari kaum monarkomaken, khususnaya jaran Johannes Althusius.  Bahwa individu-individu itu dengan melalui perjannjian masyarakat membentuk masyarakat, dan kepada masyarakat inilah para individu itu menyerahkan kekuasaannya, yang selanjutnya masyarakat inilah yang menyerahkan kekuasaan tersebut kepada Raja.
Jadi Raja mendapat kekuasaan dari individu-individu tersebut. Individu mendapat kekuasaan dari hukum alam. Karena hukum alam yang menjadi dasar kekuasaan raja, maka kekuasaan raja itu dibatasi dengan hukum alam, dan karena raja mendapat kekuasaannya dari rakyat, maka pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat, yang  berdaulat adalah rakyat dan raja anya sebgai pelaksana dari apa yang diputuskan dan dikehendaki rakyat.
Dalam isu kedaulatan rakyat, pemikir yang seringkali dirujuk adalah JJ Rousseau. Dalam bukunya Contract ,Sodale (1763), Rousseau berpendapat bahwa manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada dalam keluguan. Sayangnya, keluguan ini hilang ketika membentuk masyarakat dengan lembaga-lembaganya. Pada saat itu, manusia beralih menjadi harus taat pada peraturan yang dibuat oleh penguasa yang mengisi kelembagaan dalam masyarakat. Peraturan itu menjadi membatasi dan tidak bermoralitas asli karena dibuat oleh penguasa. Dengan demikian, manusia menjadi tidak memiliki dirinya sendiri.
Bagaimana cara mengembalikan manusia kepada keluguan dengan moralitas alamiah dan bermartabat? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja dan kaum bangsawan yang mengatur masyarakat barus ditumbangkan dan kedaulatan rakyat harus ditegakkan. Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat terhadap rakyat hanyalah rakyat sendiri. Tak ada orang atau kelompok yang berhak untuk meletakan hukumnya pada rakyat. Hukum hanya sah bila ditetapkan oleh kehendak rakyat.
Faham kedaulatan rakyat adalah penolakan terhadap faham hak raja atau golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri.
Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah: yang manakah kehendak rakyat itu? Bukankah rakyat adalah ratusan juta individu (di Indonesia) yang masing-masing punya kemauan dan jarang sekali atau tak pernah mau bersatu?
Rousseau menjawab pertanyaan ini dengan teori Kehendak Umum. Menurut teori ini: sejauh kehendak manusia diarahkan pada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan. Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum, bersama sebagai satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum.
Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itu lah yang menjadi dasar konstruksi negara dari Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum itu. Tidak ada perwakilan rakyat oleh karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili. Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar panitia yang diberi tugas melaksanakan keputusan rakyat. Karena rakyat memerintah sendiri dan secara langsung, maka tak perlu ada undang-undang dasar atau konstitusi. Apa yang dikehendaki rakyat itu lah hukum.
Dengan demikian, negara menjadi republik, res publica, urusan umum. Kehendak umum disaring dari pelbagai keinginan rakyat melalui pemungutan suara. Keinginan yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak dianggap sebagai tidak umum dan akihirnya harus disingkirkan. Kehendak yang bertahan sampai akhir proses penyaringan, itulah kehendak umum.
Untuk memahami kehendak umum menurut Rossesau diperlukan virtue, keutamaan. Orang harus dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompoknya di satu pihak dan kepentingan umum di lain pihak. Jadi untuk berpolitik dan bernegara diperlukan kemurnian hati yang bebas dari segala pamrih. Berpolitik menjadi masalah moralitas.
Dalam perkembangannya, teori kehendak umum yang digunakan untuk menjelaskan kedaulatan rakyat memiliki dua kelemahan, sebagaimana disebutkan oleh Franz Magnis Suseno (1992: 83-85): Pertama, tidak dikenalnya konsep perwakilan rakyat yang nyata. Rousseau lebih menekankan pada kebebasan total rakyat dan berasumsi bahwa kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Kedua, tidak adanya pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan kekuasaan negara
Kedua kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme kehendak umum, sebagaimana terjadi di Perancis, sekitar 200 tahun lampau. Pada saat itu, kehendak bebas dan total rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter Louis XVI tetapi di lain sisi melahirkan suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan "kehendak murni" rakyat. Totalitarisme itu, di bawah pimpinan Robbespierre, telah menghadirkan suatu teror. Robbespierre mengidentifikasi kehendaknya dengan kehendak rakyat. Ketika itu, kehendak yang tidak sama dengannya, secara sederhana dianggap sebagai kehendak di luar "kehendak murni" rakyat.
Perkembangan tragis dari kehendak umum ke suatu kondisi teror dari kehendak umum terhadap kehendak minoritas, memang acap terjadi setelah fase revolusi dilalui dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, Eric Hoffer (Hoffer: 1951), menyarankan untuk dilakukan suatu peralihan dari fase revolusioner kepada suatu pembentukan konstitusi yang ditaati oleh rezim baru dan rakyatnya.
Prasaran Hoffer pada dasarnya melengkapi asumsi dari Rousseau tentang perlunya suatu moralitas untuk memimpin negara. Jadi moralitas saja tidak cukup. Kalau demikian, ini menjadi menarik. Bagaimana komposisi moralitas masyarakat (dan penyelenggara negara) plus konstitusi dan dasar legal di Indonesia dapat diandalkan untuk terjadinya 2 (dua) hal yang menurut Magnis, menjadi prasyarat kedaulatan rakyat?
E.       Teori Kedaulatan hukum
Tokoh dari aliran ini adalah Prof. Mr. H. Krabbe dan Leon Duguit. Menurut Karrabe, hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan orang terbanyak yang dituduhkan kepadanya. Karena sifatnya yang berusaha mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, maka hukum itu wajib ditaati oleh manusia.
Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah kaidah yang timbul dari perasaan hukum anggota suatu masyarakat, mempunyai kewajiban/ kekuasaan
F.       Asas Keseimbangan
Kranenburg, murid dari dan pengganti Prof. Karabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang. Dalil tersebut dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut : “ tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu “. Dalil ini oleh Kranenburg dinamakan asas keseimbangan.
                Penemuan Hukum
Akibat perkembangan masyarakat, maka perkembangan hukum berjalan seiring jalan. Hakim merupakan salah satu faktor pembentukan hukum. Badan legislatif menetapkan peraturan yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam pelaksanaan hal-hal konkret diserahkan kepada hakim sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif.
               Yang dilakukan hakim yaitu :
a.       Konsturksi hukum. Misalnya pada pasal1576 tentang jual beli “Koop Break Geen Huur”
b.       Penafsiran hukum. Ada beberapa metode penafsiran, yaitu penafsiran tata bahasa, yaitu pernafsiran yang berdasarkan ketentuan UU yang berpedoman pada perkataan.
Penfsiran sahih, yaitu penfsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang telah diberikan oleh pembentuk UU
Penfsiran historis, yaitu penfsiran yang berdasarkan sejarah hukum dan UU-nya.
Penfsiran sistematis, yang penfsiran memiliki susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya, baik dalam UU itu, maupun dengan UU lainnya.
Penfsiran nasional, yaitu penfsiran memiliki sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
Penfsiran teleologis, yaitu penfsiran dengan mengingat maksud dan tujuan Undang-Undang itu
Penfsiran ekstensif, yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu.
Penfsiran restriktif, yaitu penfsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu.
Penfsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya.
Penfsiran a contrario, yaitu suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.







Daftar Pustaka :
Drs. C.S.T. Kansil, S.H. pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka
http://medizton.wordpress.com/2010/05/15/teori-kedaulatan/
http:/anneahira.com/teori-kedaulatan-rakyat.htm
http://interseksi.org/publications/essays/articles/telaah_konstitusional.html
http://wisegeek.com/what-is-natural-law-theory.htm
http://iep.utm.edu/natlaw/
http://akitiano.blogspot.com/2007/07/kedaulatan-tuhan-dan-kedaulatan-rakyat.html
http://setia-ceritahati.blogspot.com/2010/04/mazhab-sejarah-historical-rechtsshcule.html
http://kuliahade.wordpress.com/2010/01/31/filsafat-hukum-mazhab-sejarah/
http://www.slideshare.net/joehasan/teori-hukum

Peranan Fungsi dan Tujuan Hukum


Perana Fungsi Hukum dan Tujuan Hukum

Peranan  hukum  dalam  masyarakat :
1.    Dalam  keluarga.
-          Seorang  laki-laki  dan  wanita  yang  akan  mengikatkan diri  dalam  perkawinan  telah  melakukan  perbuatan  hukum  ( Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun  1974).
-          Pencatatan  mengenai  kelahiran  anak,  perceraian,  kematian,  perkawinan  pada  kantor  catatan  sipil  tanpa  kita  sadari  telah  mematuhi  pasal  4  Bab  kedua  buku  ke II  undang-undang  hukum  perdata.
-          Sikap  hormat  kepada  Ibu  dan  Bapak  (pasal  298  undang-undang  hukum  perdata).
-          Orang  tua  yang  mengawasi  anaknya  yang  belum  dewasa (KUH perdata  pasal 462).
2.    Dalam  pekerjaan (hubungan  kerja)
-          Penandatanganan  perjanjian  kerja (KUH  perdata  Bab  7 A  pasal  1601, 1601 a  sampai  dengan  pasal  1601 c).
-          Pimpinan  perusahaan  membuat  peraturan  mengenai  pekerjaan (UU perburuhan)
-          Majikan  harus  membayar  upah  kepada  buruh (Bab  ketiga  dari  KUH perdata)
-          Seorang  sarjana  yang  bekerja (UU No.8  /1961  tanggal  29  April  1961  tentang  wajib  kerja  sarjana).
3.    Dalam  menjalankan  pekerjaan/profesi
-          Terikat  pada  peraturan  kepegawaian.
-          Dokter  yang  menyimpan  rahasia  kedokteran (Peraturan  Pemerintah  No. 10 tanggal  21  Mei  1966,  LN  1966 No. 02)
4.    Tentang hak
-          Pemilik  tanah  dapat  menuntut  ganti  rugi  kepada  pihak  yang  mengurus  atau  menguasai  tanahnya.
-          Buruh  menuntut  pesangon  apabila  diberhentikan  tanpa  ada  alasan  yang  jelas (tuntutan  semacam  ini  diatur  dalam  undang-undang  perburuhan)
5.    Perkembangan  masyarakat
-          Perkembangan  masyarakat  yang  diikuti  dengan  perkembangan  teknologi  serta  pesatnya  pertambahan  penduduk  makin  menunjukkan  kepentingan  hukum  dalam  masyarakat.
-          Didalam  hubungan  satu  sama  lainnya  harus  mengerti  tentang  kedudukan,  hak  dan  kewajibannya  sebagai  anggota  masyarakat.
-          Orang  harus  mengerti  tenntang  perbuatan  yang  diperbolehkan  oleh  undang-undang (Rechtshandeling) dan  yang  tidak  diperbolehkan  (Onrechtmatige  daad)
6.    Hubungan  dengan  ilmu  lainnya
-          Sebagai  bagian  dari  Ilmu  Sosial  Ilmu  Hukum  memiliki  kaitan  dengan  ilmu-ilmu  sosial  lainnya.
-          Seorang  Insinyur  membuat  kontrak  dengan  pihak  yang  memberikan  pekerjaan.
-          Seorang  Geolog  harus  meneliti  dahulu  status  tanah  yang  digalinya  dan  harus  mendapat  izin  terlebih  dahulu  dari  yang  memiliki  tanah.
-          Sebuah  bank  harus  meneliti  dahulu  tentang  identitas,  nilai  jaminan  dan  sebagainya  dari  orang  yang  mengambil  kredit.

Pembahasan   mengenai   tujuan   hukum   tidak   lepas   dari   sifat   hukum   dari   masing-masing   masyarakat   yang   memiliki   karakteristik   atau   kekhususan   karena   pengaruh   falsafah   yang   menjelma   menjadi   ideologi   masyarakat   atau   bangsa   yang   sekaligus   berfungsi   sebagai   cita   hukum.
Dari   landasan  teori  yang  dikemukakan  parah  ahli  terlihat  dengan  jelas  perbedaan-perbedaan  pendapat  dari  para  ahli  tentang  tujuan  hukum,  tergantung  dari  sudut  pandang  para  ahli  tersebut  melihatnya,  namun  semuanya  tidak  terlepas  dari  latar  belakang  aliran  pemikiran  yang  mereka  anut  sehingga  dengannya  lahirlah  berbagai  pendapat  yang  tentu  saja  diwarnai  oleh  aliran  serta  faham  yang  dianutnya.
Adapun  tujuan  hukum  pada  umumnya  atau  tujuan  hukum  secara  universal  menurut  Gustav  Radbruch  yaitu  menggunakan  asas  prioritas  sebagai  tiga  nilai  dasar  hukum  atau  sebagai  tujuan  hukum,  masing-masing  adalah  keadilan,  kemanfaatan  dan  kepastian  hukum  sebagai  landasan  dalam  mencapai  tujuan  hukum  yang  diharapkan.
Secara  khusus  masing-masing  jenis  hukum  mempunyai  tujuan  spesifik,  sebagai  contoh  hukum  pidana  tentunya  mempunyai  tujuan  spesifik  dibandingkan  dengan  hukum  perdata,  demikian  pula  hukum  formal  mempunyai  tujuan  spesifik  jika  dibandingkan  dengan  hukum  materil,  dan  lain  sebagainya.
Kalau  dikatakan  bahwa  tujuan  hukum  adalah  sekaligus  keadilan,  kemanfaatan  dan  kepastian  hukum,  apakah  ini  tidak  menimbulkan  masalah  dalam  kenyataan (komentar  Rusli  Effendy  dkk  terhadap  Gustav  Radbruch).  Sebagaimana  diketahui,  di dalam  kenyataanya  sering  sekali  antara  kepastian  hukum  terjadi  benturan  dengan  kemanfaatan,  atau  antara  keadilan  dengan  kepastian  hukum,  antara  keadilan  terjadi  benturan  dengan  kemanfaatan.  Sebagai  contoh  dalam  kasus-kasus  hukum  tertentu,  kalau  hakim  menginginkan  keputusannya  adil  (menerut  persepsi  keadilan  yang  dianut  oleh  hukum  tersebut  tentunya)  bagi  si  penggugat  atau  tergugat  atau  bagi  si  terdakwa,  maka  akibatnya  sering  merugikan  kemanfaatan  bagi  masyarakat  luas,  sebaliknya  kalau  kemanfaatan  masyarakat  luas  dipuaskan,  perasaan  keadilan  bagi  orang  tertentu  terpaksa  dikorbankannya.  Oleh  karena  itu  bagaimana  keadilan,  kemanfaatan  dan  kepastian  hukum.
Olehnya  itu  asas  prioritas  yang  dikemukakan  Gustav  Radbruch  pertama-tama  kita  harus  memprioritaskan  keadilan  barulah  kemanfaatan  dan  terakhir  adalah  kepastian  hukum.  Idealnya  diusahakan  agar  setiap  putusan  hukum,  baik  yang  dilakukan  oleh  hakim,  jaksa,  pengacara  maupun  aparat  hukum  lainnya,  seyogyanya  ketiga  nila i dasar  hukum  itu  dapat  diwujudkan  secara  bersama-sama,  tetapi  manakala  tidak  mungkin,  maka  haruslah  diprioritaskan keadilan,  kemanfaatan  dan  kepastian hukum.
Dengan  penerapan  asas  prioritas  ini,  sisten  hukum  kita  dapat  tetap  tegak  terhindar  dari  konflik  intern  yang  dapat  menghancurkan.  Untuk  mencapai  tujuan   yang  dapat  menciptakan  kedamaian,  ketentraman  dan  ketertiban  dalam  masyarakat,  terutama  masyarakat  yang  kompleks  dan  mejemuk  seperti  di  Indonesia,  maka  saya  untuk  sementara  menerima  pandangan  yang  dikemukakan  baik  Rusli  Effendy  maupun  Achmad  Ali  yang  menganggap  sangat  realistis  kalau  kita  menganut  asas  prioritas  yang  kasuistis  yang  ketika  tujuan  hukum  diprioritaskan  sesuai  kasus  yang  dihadapi  dalam  masyarakat,  sehingga  pada  kasus  tertentu  dapat  diprioritaskan  salah  satu  dari  ketiga  asas  tersebut  sepanjang  tidak  mengganggu ketenteraman  dan  kedamaian  merupakan  tujuan  akhir  dari  hukum  itu  sendiri.
Keterangan  yang  telah  dikemukakan  memiliki  sebuah  kesimpulan  yaitu  hukum  selalu  mengikuti  serta  melekat  pada  manusia  yang  bermasyarakat.  Hukum  memiliki  fungsi : menertibkan  dan  mengatur  pergaulan  dalam  masyarakat  serta  menyelesaikan  masalah-masalah  yang  timbul.  Dalam  perkembangan  masyarakat  fungsi  hukum  terdiri  dari  :
a.                        Sebagai  alat  pengatur  tata  tertib  hubungan  masyarakat.
Hukum  sebagai  norma  merupakan  petunjuk  untuk  kehidupan  manusia dalam  masyarakat,  hukum  menunjukkan  mana  yang  baik  dan  mana  yang  buruk,  hukum  juga  memberi  petunjuk,  sehingga  segala  sesuatunya  itu  dapat  berjalan  dengan  tertib  dan  teratur.  Begitu  pula  hukum  dapat  memaksa  agar  hukum  itu  ditaati  anggota  masyarakat  itu  sendiri.
b.                       Sebagai  sarana  untuk  mewujudkan  keadilan  sosial  lahir  dan  batin.
-                    Hukum  mempunyai  cirri  memerintah  dan  melarang
-                    Hukum  mempunyai  sifat  memaksa
-                    Hukum  mempunyai  daya  yang  mengikat  fisik  dan  Psikologis
Dikarenakan  hukum  memiliki  sifata  dan  ciri-ciri  yang  telah  disebutkan,  maka  hukum  dapat  memberi  keadilan,  dalam  arti  dapat  menentukan  siapa  yang  salah,  dan  siapa  yang  benar,  dapat  memaksa  agar  peraturan  dapat  ditaati  dengan  ancaman  sanksi  bagi  pelanggarnya.

c.                        Sebagai  sarana  penggerak  pembangunan.
Daya  mengikat  dan  memaksa  dari  hukum  dapat  digunakan  atau  di  daya  gunakan  untuk  menggeraakkan  pembangunan.  Disini  hukum  dijadikan  alat  untuk  membawa  masyarakat  ke  arah  yang  lebih  maju.
d.                       Sebagai  fungsi  kritis.
Menurut  Dr. Soedjono  Dirdjosisworo, S.H  dalam  bukunya  pengantar  ilmu  hukum,  hal  155  mengatakan  :  “Dewasa  ini  sedang  berkembang  suatu  pandangan  bahwa  hukum  mempunyai  fungsi  kritis,  yaitu  daya  kerja  hukum  tidak  semata-mata  melakukan  pengawasan  pada  aparatur   pemerintah  (petugas)  saja  melainkan  aparatur  penegak  hukum  termasuk  didalamnya”.
e.                        Sebagai  penentuan  alokasi  wewenang.
Maksudnya  secara  terperinci  siapa  yang  boleh  melakukan  pelaksanaan (penegak)  hukum,  siapa  yang  harus  menaatinya,  siapa  yang  memilih  sanksi  yang  tepat  dan adil,  seperti  konsep  hukum  konstitusi  negara.
f.             Sebagai  alat  penyelesaian  sengketa.
Seperti  contoh  persengekataan  harta  waris  dapat  segera  selesai  dengan  ketetapan  hukum  waris  yang  sudah  diatur  dalam  hukum  perdata.

g.                       Memelihara  kemampuan  masyarakat  untuk  menyesuaikan  diri  dengan  kondisi  kehidupan  yang  berubah.
Yaitu  dengan  cara  merumuskan  kembali  hubungan-hubungan  esensial  antara  anggota-anggota  masyarakat.

Seperti diketahui bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan dari warganya. Di antara kepentingan itu ada yang bisa selaras dengan kepentingan yang lain, tetapi ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan yang lain. Untuk keperluan tersebut, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuannya. Dengan kata lain, fungsi hukum adalah menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan konflik yang terjadi.
Fungsi hukum menurut Franz Magnis Suseno, adalah untuk mengatasi konflik kepentingan. Dengan adanya hukum, konflik itu tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah, dan orientasi itu disebut keadilan.
Dalam pandangan Achmad Ali, bahwa fungsi hukum itu dapat dibedakan ke dalam :
a.            Fungsi hukum sebagai “a tool of social control”.
b.           Fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering”.
c.            Fungsi hukum sebagai simbol.
d.           Fungsi hukum sebagai “a political instrument”.
e.            Fungsi hukum sebagai integrator.
Menurut Lawrence M. Friedmann, dalam bukunya “Law and Society an Introduction”, fungsi hukum adalah :
a.            pengawasan/pengendalian sosial (social control).
b.           penyelesaian sengketa (dispute settlement).
c.            rekayasa sosial (social engineering).
Berkaitan  dengan  fungsi  hukum,  Muchtar  Kusumaatmadja,  mengajukan  konsepsi  hukum  sebagai  sarana  pembaruan  masyarakat,  yang secara  singkat  dapat  dikemukakan  pokok-pokok  pikiran  beliau,  bahwa   fungsi  hukum  di  dalam  pembangunan  sebagai  sarana  pembaruan  masyarakat.  Hal  ini  didasarkan  pada  anggapan  bahwa  adanya  keteraturan  atau  ketertiban  dalam  usaha  pembangunan  atau  pembaruan  merupakan  suatu  yang  dianggap  penting  dan  sangat diperlukan.
Di  samping  itu,  hukum  sebagai  tata  kaedah  dapat  berfungsi  untuk menyalurkan  arah  kegiatan  warga  masyarakat  ke  tujuan  yang  dikehendaki  oleh  pembangunan  atau  pembaruan.  Kedua  fungsi  tersebut  diharapkan  dapat  dilakukan  oleh  hukum  di  samping  fungsinya  yang  tradisional,  yakni  untuk  menjamin  adanya  kepastian  dan  ketertiban.
Theo  Huijbers,  menyatakan  bahwa  fungsi  hukum  ialah  memelihara  kepentingan  umum  dalam  masyarakat,  menjaga  hak-hak  manusia,  mewujudkan  keadilan  dalam  hidup  bersama.
Sedangkan  dalam  pandangan  Peters,  yang  menyatakan  bahwa  fungsi  hukum  itu  dapat  ditinjau  dari  tiga  perspektif :
1.      Perspektif  kontrol  sosial  daripada  hukum.  Tinjauan  ini  disebut  tinjauan  dari  sudut  pandang  seorang  polisi  terhadap  hukum  (the  policement  view  of  the  law).
2.      Perspektif  social  engineering,  merupakan  tinjauan  yang  dipergunakan  oleh  para  penguasa  (the  official  perspective  of  the  law),  dan  karena  pusat  perhatian  adalah  apa  yang  diperbuat  oleh  penguasa  dengan  hukum.
3.      Perspektif  emansipasi  masyarakat  daripada  hukum. Perspektif  ini  merupakan  tinjauan  dari  bawah  terhadap  hukum  (the  bottom’s  up  view  of  the  law)  dan  dapat  pula  disebut  perspektif  konsumen  (the  consumer’s  perspective  of  the  law).
Dari  beberapa  pendapat  pakar  hukum  mengenai  fungsi  hukum  di  atas,  dapatlah  dikatakan  bahwa fungsi  hukum,  sebagai  berikut :
a.       Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat  untuk  berprilaku.
b.      Pengawasan   atau  pengendalian  sosial  (social  control).
c.       Penyelesaian  konflik  atau  sengketa  (dispute  settlement).
d.      Rekayasa  sosial  (social  engineering).

Fungsi  hukum  sebagai  pedoman  atau  pengarah  prilaku,  kiranya  tidak  memerlukan  banyak  keterangan,  mengingat  bahwa  hukum  telah  disifatkan  sebagai  kaedah,  yaitu  sebagai  pedoman  prilaku,  yang  menyiratkan  prilaku  yang  seyogianya  atau  diharapkan  diwujudkan  oleh   masyarakat  apabila  warga  masyarakat  melakukan  suatu  kegiatan  yang  diatur  oleh  hukum.
Hukum  sebagai  sarana  pengendali  sosial,  menurut  A. Ross  sebagaimana  dikutip  Soerjono  Soekanto,  adalah  mencakup  semua  kekuatan  yang  menciptakan  serta  memelihara  ikatan  sosial.  Ross  menganut  teori  imperatif  tentang  fungsi  hukum  dengan  banyak  menghubungkannya  dengan  hukum  pidana.  Dalam  kaitan  ini,  hukum  sebagai  sarana  pemaksa  yang  melindungi  warga  masyarakat  dari  ancaman  maupun  perbuatan  yang  membahayakan  diri  serta  harta  bendanya.  Misalnya  dapat  dikemukakan  perbuatan  kejahatan  penganiayaan  dalam  Pasal  351 KUHP.  Norma  ini  jelas  merupakan  sarana  pemaksa  yang  berfungsi  untuk  melindungi  warga  masyarakat  terhadap  perbuatan  yang  mengakibatkan  terjadinya  penderitaan  pada  orang  lain.
Pengendalian  sosial  (social  control)  dari  hukum,  pada  dasarnya  memaksa  warga  masyarakat  agar  berprilaku  sesuai  dengan  hukum,  Dengan  kata  lain,  pengendalian  sosial  daripada  hukum  dapat  bersifat  preventif  maupun  represif.  Preventif  merupakan suatu  usaha  untuk  mencegah  prilaku  yang  menyimpang,  sedangkan  represif  bertujuan  untuk  mengembalikan  keserasian  yang  terganggu.
Hukum  sebagai  sarana  penyelesaian  sengketa  (dispute  settlement).  Di  dalam  masyarakat  berbagai  persengketaan  dapat  terjadi,  misalnya  antara  keluarga  yang  dapat  meretakan  hubungan  keluarga,  antara  mereka  dalam  suatu  urusan  bersama  (company),  yang  dapat  membubarkan  kerjasama.  Sengketa  juga  dapat  mengenai  perkawinan  atau  waris,  kontrak,  tentang  batas  tanah,  dan   sebagainya.  Adapun  cara-cara  penyelesaian  sengketa  dalam  suatu  masyarakat,  ada  yang  diselesaikan  melalui  lembaga  formal  yang  disebut  dengan  pengadilan,  dan  ada  yang  diselesaikan  secara  sendiri  oleh  orang-orang  yang  bersangkutan  dengan  mendapat  bantuan  dari  orang  yang  ada  di s ekitarnya.  Hal  ini  bertujuan  untuk  mengukur,  sampai  berapa  jauh  terjadi  pelanggaran  norma  dan  apa  yang  harus  diwajibkan  kepada  pelanggar  supaya  yang  telah  dilanggar  itu  dapat  diluruskan  kembali.
Hukum  sebagai  sarana  rekayasa  sosial  (social  engineering),  menurut  Satjipto  Rahardjo,  tidak  saja  digunakan  untuk  mengukuhkan  pola-pola  kebiasaan  dan  tingkah  laku  yang  terdapat  dalam  masyarakat,  melainkan  juga  untuk  mengarahkan  pada  tujuan  yang  dikehendaki,  menghapuskan  kebiasaan  yang  dipandang  tidak  sesuai  lagi  dengan  pola-pola  kelakuan  baru  dan  sebagainya.  Dengan  demikian,  hukum  dapat  berfungsi  untuk  mengendalikan  masyarakat  dan  bisa  juga  menjadi  sarana  untuk  melakukan  perubahan-perubahan  dalam  masyarakat.
Agar  fungsi  hukum  terlaksana  dengan  baik,  maka  para  penegak  hukum  dituntut  kemapuannya  untuk  melaksanakan  dan  menerapkan  hukum  dengan  baik,  dengan  seni  yang  dimiliki  masing-masing  petugas,  misalnya:

-          Menafsirkan  hukum  sesuai  dengan  keadilan  dan  posisi  masing-masing.
-          Bila  perlu  diadakan  penafsiran  analogis  penghalusan  hukum  atau  memberi  ungkapan  a  contrario.
Disamping  hal-hal  tersebut  diatas  dibutuhkan  kecakapan  dan  ketrampilan  serta  ketangkasan para  penegak  hukum  dalam  menerapkan  hukum  yang  berlaku.
Dari  sekian  peranan  dan  fungsi  hukum,  maka  tujuan  dari  perwujudan  hukum  itu  haruslah  ada.  Sesuai  dengan  banyaknya  pendapat  tentang  pengertian  hukum,    maka   tujuan  hukum  juga  terjadi  perbedaan  pendapat  antara  satu  ahli  dengan  ahli  yang  lain.  Berikut  ini  beberapa  pendapat  ahli  hukum  tentang  tujuan  hukum:
1.                       Prof. Lj. Van Apeldorn
Dalam  bukunya  “Inleiding  tot  de  studie  van  het  Nederlandse  recht”  mengatakan  bahwa  tujuan  hukum  adalah  mengatur  tata  tertib  dalam  masyarakat  secara  damai  dan  adil.  Demi  mencapai  kedamaian  hukum  harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat  Apeldorn  ini  dapat  dikatakan  jalan  tengah  antara  dua  teori  tujuan  hukum,  teori  etis  dan utilitis.

2.                       Aristoteles
Dalam  Bukunya  “Rhetorica”  mencetuskan  teorinya  bahwa  tujuan  hukum  menghendaki  keadilan  semata-mata  dan  isi  daripada  hukum  ditentukan  oleh  kesadaran  etis  mengenai  apa  yang  dikatakan  adil  dan  apa  yang  dikatakan  tidak  adil.  Menurut  teori  ini  buku  mempunyai  tugas  suci  dan  luhur,  ialah  keadilan  dengan  memberikan  tiap-tiap  orang  apa  yang  berhak  dia  terima  yang  memerlukan  peraturan  sendiri  bagi  tiap-tap  kasus.
Apabila  ini  dilaksanakan  maka  tidak  akan  ada  habisnya.  Oleh  karenanya  Hukum  harus  membuat  apa  yang  dinamakan  “Algemeene Regels” (Peratuaturan  atau  ketentuan-ketentyuan  umum.  Peraturan  ini  diperlukan  oleh  masyarakat  teratur  demi  kepentingan  kepastian  Hukum,  meskipun  pada  sewaktu-waktu  dapat  menimbulkan  ketidak  adilan.
3.                       Prof. Soebekti SH
Menurut  Prof.  Subekti  SH  keadilan  berasal  dari  Tuhan  YME  dan  setiap  orang  diberi  kemampuan,  kecakapan  untuk  meraba  dan  merasakan  keadilan  itu.  Dan  segala  apa  yang  di  dunia  ini  sudah  semestinya  menimbulkan  dasar-dasar  keadilan  pada  manusia.
Dengan  demikian,  hukum  tidak  hanya  mencarikan  keseimbangan  antara  pelbagai  kepentingan  yang  bertentangan  satu  sama  lain,  akan  tetapi  juga  untuk  mendapatkan  keseimbangan  antara  tuntutan  keadilan  tersebut   dengan  “Ketertiban“  atau  “Kepastian  Hukum“.
“Dasar-dasar  Hukum  dan  Pengadilan”  mengemukakan  bahwa  tujuan  hukum  adalah  melayani  kehendak  negara  yakni  mendatangkan  kemakmuran  dan  kebahagiaan  pada  rakyat.  Dalam  melayani  tujuan  negara,  hukum  akan  memberikan  keadilan  dan  ketertiban  bagi  masyarakatnya.
4.                       Geny (Teori Ethic)
Menurut  Geny  dengan  teori  etisnya,  bahwa  tujuan  hukum  adalah  untuk  keadilan  semata-mata.  Tujuan  hukum  ditentukan  oleh  unsur  keyakinan  seseorang  yang  dinilai  etis.
Adil  atau  tidak,  benar  atau  tidak,  berada  pada  sisi  batin  seseorang,  menjadi  tumpuan  dari  teori  ini.  Kesadaran  etis  yang  berada  pada  tiap-tiap  batin  orang  menjadi  ukuran  untuk  menentukan  warna  keadilan  dan  kebenaran.


5.                       Jeremy Bentham (Teori Utility)
Dalam  bukunya  “Introduction  to  the  morals  and  legislation”  .Menurut  Bentham  dengan  teori  utilitasnya,  bahwa  hukum  bertujuan  semata-mata  apa  yang  berfaedah  bagi  orang.  Pendapat  ini  dititik  beratkan  pada  hal-hal  yang  berfaedah  bagi  orang  banyak  dan  bersifat  umum  tanpa  memperhatikan  soal  keadilan.  Disini  kepastian  melalui  hukum  bagi  perorangan  merupakan  tujuan  utama  dari  Hukum.  Maka  teori  ini  menetapkan  bahwa  tujuan  hukum  ialah  untuk  memberikan  faedah  sebanyak-sebanyaknya.
6.                       Mr. J.H.P. Bellefroid
Bellefroid menggabungkan 2 pandangn ekstrim tersebut. Ia menggabungkan dalam bukunya “Inleiding tot de Rechts wetenshap in Nederland” bahwa isi hukum harus ditentukan menurut 2 asas, ialah asas keadilan dan faedah.
7.                       Prof. Mr. J van Kan
Ia  berpendapat  bahwa  hukum  bertujuan  menjaga  kepentingan  tiap-tiap  manusia  agar  kepentingan  itu  tidak  dapat  diganggu.  Disini  jelaslah  bahwa  hukum  bertugas  untuk  menjamin  kepastian  hukum  di  dalam  masyarakat  dan  juga  menjaga  serta  mencegah  agar  setiap  orang  tidak  menjadi  hakim  sendiri.  Tetapi,  tiap  perkara  harus  diselesaikan  melalui  proses  pengadilan  berdasrkan  hukum  yang  berlaku.


8.                       Dr. Wirjono Prodjodikoro. S.H
Dalam  bukunya  “ Perbuatan Melanggar Hukum”.  Mengemukakan  bahwa tujuan  Hukum  adalah mengadakan keselamatan,  kebahagiaan  dan  tata tertib dalam masyarakat.  Ia  mengatakan  bahwa  masing-masing  anggota  masyarakat  mempunyai  kepentingan  yang  beraneka  ragam.  Wujud  dan  jumlah  kepentingannya  tergantung  pada  wujud  dan  sifat  kemanusiaan  yang  ada di dalam tubuh para anggota masyarakat  masing-masing.
Hawa nafsu masing-masing menimbulkan keinginan untuk mendapatkan kepuasan dalam hidupnya sehari-hari dan supaya segala kepentingannya terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Untuk memenuhi  keinginan-keinginan  tersebut  timbul  berbagai  usaha  untuk mencapainya, yang mengakibatkan timbulnya bentrokan-bentrokan antara barbagai macam kepentingan anggota masyarakat. Akibat bentrokan tersebut masyarakat menjadi  guncang  dan  keguncangan  ini  harus  dihindari.  Menghindarkan  keguncangan  dalam  masyarakat  inilah  sebetulnya  maksud  daripada  tujuan  hukum,  maka  hukum  menciptakan  pelbagai  hubungan  tertentu  dalam  hubungan  masyarakat.

Rusli Effendy (1991:79) mengemukakan bahwa tujuan hukum dapat dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, yaitu :
o   Dari sudut pandang ilmu hukum normatif, tujuan hukum dititik beratkan pada segi kepastian hukum.
o   Dari sudut pandang filsafat hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan.
o   Dari sudut pandang sosiologi hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatan.

Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal, dapat dilihat dari tiga aliran konvensional :
1.           Aliran Etis
Aliran  ini  menganggap  bahwa  pada  asasnya tujuan  hukum  adalah  semata-mata  untuk  mencapai  keadilan. Hukum  ditentukan  oleh  keyakinan  yang  etis  tentang  adil  dan  yang  tidak  adil,  dengan  perkataan  lain  hukum  menurut  aliran  ini  bertujuan  untuk  merealisir  atau  mewujudkan  keadilan.  Pendukung  aliran  ini  antara  lain,  Aristoteles,  Gery Mil,  Ehrliek,  Wartle.
Salah  satu  pendukung  aliran  ini  adalah  Geny.  Sedangkan  penetang  aliran  ini  pun  cukup  banyak,  antara  lain  pakar  hukum Sudikno Mertokusumo: “Kalau dikatakan bahwa hukum itu bertujuan mewujudkan keadilan, itu berarti bahwa hukum itu identik atau tumbuh dengan keadilan, hukum tidaklah identik dengan keadilan. Dengan demikian berarti teori etis itu berat sebelah” (Achmad Ali, 1996:86).
Tegasnya keadilan atau apa yang dipandang sebagai adil sifatnya  sangat relatif, abstrak dan subyektif. Ukuran adil bagi tiap-tiap orang bisa berbeda-beda. Olehnya itu tepat apa yang pernah diungkapkan oleh N.E. Algra bahwa : Apakah sesuatu itu adil (rechtvaardig), lebih banyak tergantung pada Rechtmatig  heid (kesesuaian dengan hukum) pandangan pribadi seseorang penilai. Kiranya  lebih baik tidak mengatakan “itu adil”, tetapi itu mengatakan hal ini saya anggap adil memandang sesuatu itu adil, terutama merupakan sesuatu pendapat mengenai nilai secara pribadi. Achmad Ali (1990:97).
2.           Aliran Utilistis
 Menurut aliran ini mengaggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebsar-besarnya bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Jadi pada hakekatnya menurut aliran ini, tujuan hukum adalah manfaat dalam mengahasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak.
Aliran utilistis ini mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum tidak lain adalah bagaiamana memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat (ajaran moral praktis).
3.           Aliran Yuridis Dogmatik
Menurut aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum, fungsi hukum dapat berjalan dan mampu mempertahankan ketertiban.
Penganut aliran yuridis dogmatik ini bahwa adanya jaminan hukum yang tertuang dari rumusan aturan perundang-undangan adalah sebuah kepastian hukum yang harus diwujudkan. Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap aturan, persoalan keadilan dan kemanfaatan hukum bukan alasan pokok dari tujuan hukum tetapi yang penting adalah kepastian hukum.
Bagi penganut aliran ini, janji hukum yang tertuang dalam rumusan aturan tadi merupakan kepastian yang harus diwujudkan, penganut aliran ini melupakan bahwa sebenarnya janji hukum itu bukan suatu yang harus, tetapi hanya suatu yang seharusnya.
Dari ketiga aliran tujuan hukum di atas tidaklah bersifat baku, dalam artian masih ada pendapat-pendapat lain tentang tujuan hukum yang bisa dilambangkan dengan melihat latar belakang konteks sosial masyarakat yang selalu berubah.
Pembahasan mengenai tujuan hukum tidak lepas dari sifat hukum dari masing-masing masyarakat yang memiliki karakteristik atau kekhususan karena pengaruh falsafah yang menjelma menjadi ideologi masyarakat atau bangsa yang sekaligus berfungsi sebagai cita hukum.
Dari landasan teori yang dikemukakan di atas terlihat dengan jelas perbedaan-perbedaan pendapat dari para ahli tentang tujuan hukum, tergantung dari sudut pandang para ahli tersebut melihatnya, namun semuanya tidak terlepas dari latar belakang aliran pemikiran yang mereka anut sehingga dengannya lahirlah berbagai pendapat yang tentu saja diwarnai oleh aliran serta faham yang dianutnya.
Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal menurut Gustav Radbruch yaitu menggunakan asas prioritas sebagai tiga nilai dasar hukum atau sebagai tujuan hukum, masing-masing: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum yang diharapkan.
Secara khusus masing-masing jenis hukum mempunyai tujuan spesifik, sebagai contoh hukum pidana tentunya mempunyai tujuan spesifik dibandingkan dengan hukum perdata, demikian pula hukum formal mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum materil, dan lain sebagainya.

Kalau dikatakan bahwa tujuan hukum adalah sekaligus keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan (komentar Rusli Effendy dkk terhadap Gustav Radbruch). Sebagaimana diketahui, di dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya adil (menerut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas,sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankannya. Oleh karena itu bagaimana keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Olehnya itu asas prioritas yang dikemukakan Gustav Radbruch pertama-tama kita harus memprioritaskan keadilan barulah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian hukum. Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, seyogyanya ketiga nilai dasar hukum itu dapat diwujudkan secara bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Dengan penerapan asas prioritas ini, sisten hukum kita dapat tetap tegak terhindar dari konflik intern yang dapat menghancurkan.
Untuk mencapai tujuan yang dapat menciptakan kedamaian, ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat, terutama masyarakat yang kompleks dan mejemuk seperti di Indonesia, maka penulis untuk sementara menerima pandangan yang dikemukakan baik Rusli Effendy maupun Achmad Ali yang menganggap sangat realistis kalau kita menganut asas prioritas yang kasuistis yang ketika tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi dalam masyarakat, sehingga pada kasus tertentu dapat diprioritaskan salah satu dari ketiga asas tersebut sepanjang tidak mengganggu ketenteraman dan kedamaian merupakan tujuan akhir dari hukum itu sendiri.
Keadilan adalah sesuatu yang sukar didefinisikan, tetapi bisa dirasakan dan merupakan unsur yang tidak bisa, tidak harus ada dan tidak dapat dipisahkan dari hukum sebaga perangkat asas dan kaidah yang menjamin adanya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam masyarakat. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Sila Keadilan Sosial yang merupakan bagian penting daris sistem nilai Indonesia.

 
Daftar Pustaka :
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H. LL.M dan Dr. B. Arief Sidharta, S.H.
2009. Pengantar Ilmu Hukum. P.T. ALUMNI

Website:
http://thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/tugas-fungsi-dan-tujuan-hukum/
http://www.scribd.com/doc/29595284/Tug-Ass-2
http://www.docstoc.com/docs/41754412/pertemuan-1
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2093155-fungsi-hukum/
http://www.blogster.com/stainmanado/analisis-tentang-tujuan