Beda orang memang beda sifat, tapi beda kawan bukan seharusnya beda kelakuan. Memang tak ada orang yang sama, dengan rupa sama dan kelakuan yang sama, tapi setidaknya rasa kawan itu pasti ada disetiap orang. Yang kurasakan disini sungguh berbeda dengan apa yang kujalani di tempatku tumbuh besar "Padang".
Di sana, aku mempunyai teman yang benar kurasakan teman, bahkan sudah ku anggap saudara ku sendiri. Kami selalu bersama, tapi bukan berarti kami tidak pernah berselisih paham, bahkan pada tahap bertengkar pun bisa dibilang sering. Tapi ada beberapa hal yang hanya ku temukan dibeberapa teman ku, salah satunya temanku sejak aku kecil.
Kami memang bukan manusia sempurna, tapi rasa pertemanan itu kental kami rasakan, jika satu orang dari kami sakit, maka semua akan merasakan sakitnya. Temanku yang itu memang tidak bisa dilupakan. Saat sekarang ini pun aku merasa canggung tanpa mereka. Biasanya kami lalui waktu bersama, ingat bukan berarti kami adalah homoers.
Salahsatu yang tidak kurasakan dengan temanku sekarang di tempat ini adalah berupa invitation atau ajakan, ajakan mau pergi kemana, mau ada acara apa, dan bla bla bla. Semua ajakan itu hanyalah basa-basi. Aku tahu itu, maka dari itu tidak pernah aku pergi jika aku merasa itu tidak perlu buatku. Ini sangat berbeda dengan mereka temanku yang aku ceritakan diatas. Ajakan kami bukanlah ajakan basa-basi, akan tetapi bisa disebut ajakan memaksa, ada atau tidak ada duit itu bukan masalah kami. Jika ada satu orang yang berduit atau sebaliknya maka semuanya akan aman. Memang bagi sebagian orang itu merugikan bagi mereka, karena mereka menganggap teman itu adalah sebatas manusia yang hanya mereka kenal tetapi tidak saling memiliki rasa keluarga, karena itu lah orang merasa begitu.
Tetapi berbeda dengan kami, setiap ada acara, setiap ada rencana itu harus dilaksanakan bersama. Lebih baik acara itu batal daripada salah satu dari kami tidak bisa ikut. Tidak ada duit itu bukan alasan bagi kami.karena kami tidak hidup menghandalkan duit, bukan berarti kami tak memerlukan duit. Tapi kami sahabat yang bersaudara.
Aku rindu kalian teman ( Andre, Oji, Petet) tunggu aku sesi pulang berikutnya. kita gila-gilaan lagi teman!
Saturday, 19 March 2011
time post
12:22:00 am
Monday, 7 March 2011
Teori Pentaatan Hukum
time post
12:09:00 am
A. Teori Hukum Alam ( natural law theory )
Asal-usul teori hukum alam yang terletak di Yunani Kuno. Banyak filsuf Yunani dibahas dan kodifikasi konsep hukum alam, dan memainkan peran penting dalam pemerintahan Yunani. Kemudian filsuf seperti St Thomas Aquinas, Thomas Hobbes, dan John Locke dibangun di atas karya orang Yunani dalam risalah teori hukum kodrat mereka sendiri. Banyak dari filsuf menggunakan hukum alam sebagai kerangka kerja untuk mengkritik dan reformasi hukum positif, dengan alasan bahwa hukum positif yang tidak adil berdasarkan prinsip-prinsip hukum alam secara hukum.
Anda sudah akrab dengan teori alam, meskipun Anda mungkin tidak menyadarinya. Ide yang Universal tentang keadilan yang lintas budaya adalah contoh yang sangat baik dari hukum alam. Banyak anak, misalnya, menarik rasa keadilan dalam sengketa, dan kebanyakan orang di seluruh dunia setuju pembunuhan yang parah adalah pelanggaran hukum alam. Banyak teori hukum alam akar teori mereka dalam gagasan bahwa semua manusia pada dasarnya masuk akal, dan bahwa motif mereka didorong oleh rasa pelestarian diri.
"Hukum alam" istilah ambigu. Hal ini mengacu pada jenis teori moral, serta jenis teori hukum, tetapi klaim inti dari dua jenis teori yang logis independen. Ini tidak mengacu pada hukum alam , ilmu hukum yang bertujuan untuk menggambarkan. Menurut teori hukum kodrat moral, standar moral yang mengatur perilaku manusia, dalam arti, obyektif berasal dari sifat manusia dan sifat dunia. While being logically independent of natural law legal theory, the two theories intersect. Sementara yang logis independen dari teori hukum alam hukum, dua teori berpotongan. Namun, sebagian dari artikel akan fokus pada teori hukum alam hukum.
Menurut teori hukum kodrat hukum, kewenangan standar hukum tentu berasal, setidaknya sebagian, dari pertimbangan yang berkaitan dengan jasa standar-standar moral. Ada beberapa macam teori hukum alam hukum, berbeda dari satu sama lain sehubungan dengan peran yang memainkan moralitas dalam menentukan otoritas norma hukum. Yurisprudensi konseptual John Austin menyediakan satu set kondisi perlu dan cukup untuk keberadaan hukum yang membedakan hukum dari non-hukum di setiap dunia yang mungkin. Teori klasik hukum alam seperti teori Thomas Aquinas berfokus pada tumpang tindih antara hukum alam dan hukum teori-teori moral. Demikian pula, neo-naturalisme Yohanes Finnis merupakan pengembangan dari teori hukum klasik alam. Sebaliknya, naturalisme prosedural Lon L. Fuller adalah sebuah penolakan terhadap gagasan naturalis konseptual yang ada perlu kendala moral substantif pada isi hukum. Terakhir, teori Dworkin's Ronald merupakan respon dan kritik terhadap positivisme hukum . Semua teori berlangganan ke satu atau lebih prinsip dasar teori hukum alam hukum dan penting bagi perkembangan dan pengaruhnya.
Teori Hukum Alam adalah suatu aliran yang menelaah hukum dengan bertitik tolak dari keadilan yang mutlak, artinya bahwa keadilan tersebut tidak dapat diganggu. Bersifat universal dan jelas ( dengan sendirinya ) artinya berlaku untuk semua orang, berlaku tanpa mengenal batas waktu ( abadi ) serta berlaku di mana saja.
Teori ini dianut hingga abad pertengahan dan bisa dibedakan antara teori hukum alam yang bersumber dari agama yang mengembalikan segala sesuatunya pada kehendak tuhan, misalnya bahwa orang menaati hukum karena tuhan atau alam menghendakinya demikian. Sedangkan aliran hukum alam lainnya berdasarkan pada akal atau rasio manusia bahwa orang menaati hukum itu karena menurut akal sebaiknya manusia itu menaati hukum.
Teori ini juga menyatakan bahwa sumber hukum yang baik adalah budi pekerti, jadi antara hukum dan moral tidak dapat dipisahkan. Umumnya, penganut hukum alam ini memandang hukum dan moral merupakan pencerminan dan pengaturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral. Aliran atau teori hukum alam ini dikemukakan antara lain oleh Aristoteles, Thomas Aquino, Hugo de Groot, dan Rudolf Stammler.
a. Ajaran hukum alam Aristoteles
Berpendapat bahwa hukum alam adalah hukum yang tidak bergantung dari pandangan manusia akan tetapi berlaku untuk semua kapan saja dan dimana pun dia berada yang bersifat mutlak, serta selaras dengan kodrat manusia.
b. Ajaran hukum alam Thomas Aquino
Berpandangan bahwa dalam hukum abadi merupakan rasio ke-Tuhanan sebagai landasan bagi timbulnya segala undang – undang atau berbagai peraturan hukum lainnya dan memberikan kekuatan mengikat pada masing – masing peraturan hukum tersebut. Konsep Thomas Aquino dapat digambarkan dalam bentuk skema berikut
Principia Prima : norma – norma kehidupan yang berlaku secara fundamental, universal dan mutlak.
Principia Secundaria : norma – norma keidupan yang tidak fundamental, tidak universal dan tidak mutlak melainkan bergantung pada manusianya.
c. Ajaran hukum alam Hugo de Groot
Berpendapat bahwa hukum alam bersumber dari akal budi manusia. Pembawaan dari setiap manusia dan merupakan hasil pertimbangan dari akal manusia itu sendiri. Contohnya dengan menggunakan akalnya manusia memahami apa yang adil dan apa yang tidak adil. Manusia harus hidup sesuai dengan kodratnya yang mempunyai akal maka manusia harus hidup menurut kehendak akalnya.
d. Ajaran hukum alam Rudolf Stammler
Mengatakan bahwa kebenaran hukum itu selalu bergantung pada keadaan, waktu dan tempat. Karena didasari pada suatu kenyataan bahwa adanya hukum adalah tidak mungkin hukum itu isinya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang berbeda – beda, mungkin juga ditemukan suatu hukum yang benar ( Richtiges Recht ), yakni hukum yang baik dan adil suatu bangsa tertentu dan untuk waktu tertentu asal saja dipahami benar – benar mengenai kebutuhan masyarakat yang terdiri dari orang – orang orang yang berkehendak bebas dikatakan sebagai masyarakat yang dicita–citakan ( social ideal ).
B. Mazhab Sejarah (Historical Rechtsshcule)
Mazhab ini merupakan reaksi dari 3 (tiga) hal yakni;
1. Rasionalisme abad 18 yang mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan kondidi nasional.
2. semangat revolusi prancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi cosmopolitan.
3. Pendapat yang berkembang saat itu mengenai pelarang hakim menafsirkan undang-undang karena menganggap undang-undang dapat memecahkan semua masalah
Mazhab yang menentang universalisme sekaligus timbul pada zaman gerakan nasionalisme di eropa ini mengarahkan perhatian hukum nasional pada jiwa bangsa. Tokoh pada mazhab ini anatara lain; Von Savigny, Puchta dan Henry summer Maine.
1. Frederic Karl Von Savigny (1770-1861)
Ia menganalogikan timbulnya hukum dengan timbulnya bahasa suatu bangsa dengan segala ciri dan kekhususannya. Menurutnya hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tapi karena perasaan keadilan yang terletak didalam jiwa bangsa itu (Instinktif). Hukum tidak dibuat, tapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat, ia mengingatkan untuk membangun hukum study terhadap sejarah suatu bangsa mutlak dilakukan.
Pokok-pokok pemikiran Frederic Karl Von Savigny ;
· Masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian.
· Karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
· Hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karena kebiasaan, tetapi karena keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu (instinktif).
· Jiwa bangsa (Volkgeist) itulah yang menjadi sumber hukum.
· Das Rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke.
· Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.
2. Puchta (1798-1846)
Murid Savigny ini berpendapat bahwa hukum terikat pada Jiwa bangsa yang bersangkutan dan dapat berbentuk adat istiadat, undang-undang dan karya ilmuawan hukum.
Puchta membedakan pengertian bangsa ini dalam dua jenis :
o Bangsa dalam pengertian etnis, yang disebutnya “bangsa alam”.
o Bangsa dalam arti nasional sebagai kesatuan organis yang membentuk satu negara.
Adapun yang memiliki hukum yang sah hanyalah bangsa dalam pengertian nasional (negara). Sedangkan “bangsa alam” memiliki hukum sebagai keyakinan belaka.
· Menurut Puchta, keyakinan hukum yang hidup dalam jiwa bangsa harus disahkan melalui kehendak umum masyarakat yang terorganisasi dalam negara.
· Negara mengesahkan hukum itu dengan membentuk undang-undang.
· Adat istiadat bangsa hanya berlaku sebagai hukum sesudah disahkan negara.
3. Henry Summer Maine (1822-1888)
Sumbangan henry bagi study hukum dalam masyarakat, terutama tamapk dalam penerapan metode empiris, sistematis dan sejarah untuk menarik kesimpulan umum.
C. Teori Theokrasi
Teori ini menganggap bahwa hukum itu adalah kemauan tuhan. Dasar kekuatan hukum dari teori ini ialah kepercayaan tuhan, perintah tuhan di tulis dalam kitab – kitab suci. Tinjauan mengenai hukum dikaitkan dengan agama dan kepercayaan. Selain itu juga dasar – dasar ajaran tentang legitimasi kekuasaan hukum, teori ini berkembang di Barat diterima sampai zaman Renaissance ( abad 17 ). Penganut tetap teori theokrasi ini seperti katolik, islam dan lain sebagainya, teori ini dikemukakan oleh Friederich Stahl.
kata kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Apabila kata daulat itu disandarkan pada kata Tuhan, maka ia mempunyai arti kekuasaan tertinggi adalah Tuhan. Pemerintahan yang berdaulatkan Tuhan adalah sebuah pemerintahan yang meletakan pucuk kekuasaannya pada Tuhan.
Teori kedaulatan Tuhan adalah sebuah teori yang dikemukakan tokoh penganut-penganut teori teokrasi. Sebagian dari mereka adalah Augustinus (354-430 M), Thomas Aquinas (1225-1274 M) dan Marsilius (1280-1343 M).
Pendapat mereka sebenarnya sama. Tuhan ditetapkan sebagai pemilik kekuasaan yang tertinggi. Akan tetapi persoalan yang diperdebatkan adalah siapa di dunia ini yang mewakili Tuhan, Raja ataukah Paus?
Agustinus adalah orang yang paling awal memberi gagasan ini. Beliau berpendapat bahwa Paus adalah orang yang mewakili Tuhan di dunia, atau bisa dimaksud dengan di suatu negara. Pemikiran beliau ini tertulis di dalam sebuah karya tulisnya yang berjudul City of God (Kerajaan Tuhan).
Selanjutnya, datanglah Thomas Aquinas dengan teori baru dalam kadaulatan Tuhan. Beliau mengemukakan sebuah teori bahwa kekuasaan raja dan Paus itu sama, hanya saja perbedaannya berada ditugasnya yaitu raja di lapangan keduniawian, sedangkan Paus di lapangan keagamaan.
Perkembangan selanjutnya adalah teori yang dibawa oleh Marsilius. Marsilius mengajarkan teori baru yaitu kekuasaan tidak dimiliki seorang Paus, akan tetapi dimiliki negara atau raja. Menurut ajaran Marsilius, raja adalah wakil daripada Tuhan untuk melaksanakan kedaulatan atau memegang kedaulatan di dunia ini.
Teori kedaulatan Tuhan ini berkembang pada abad ke 5 M sampai abad ke 15 M. Perkembangan teori ini berjalan bersama dengan perkembangan agama baru pada masa itu, yaitu agama Kristen, yang diorganisir pihak gereja yang dikepalai oleh Paus. Pada masa itu, negara-negara Eropa dijalankan oleh dua organisasi kenegaraan, yaitu pihak gereja yang dikepalai oleh Paus, dan pihak negara yang dikepalai oleh raja-raja sesuai dengan daerah masing-masing. Ini disebabkan oleh agama Kristen adalah agama resmi negara-negara di Eropa pada masa itu setelah perjuangan yang kuat dari pihak gereja dalam menyebarkan agama Kristen melawan kepercayaan patheisme atau paganisme yang dipegang oleh raja-raja yang menganggap bahwa Kristen mengancam kewibawaan raja.
Pada saat Kristen sukses menjadi agama resmi negara-negara di Eropa, gereja pun mulai mendapat kekuasaan dalam mengatur negara, bukan saja urusan keagamaan, akan tetapi urusan keduniawian juga. Maka tidaklah jarang terjadi dua peraturan dalam satu hal. Satu peraturan dari raja, dan kedua peraturan dari gereja. Selama peraturan tersebut tidak berbenturan, maka tidak menjadi masalah. Tetapi, apabila kedua peraturan itu saling bertentangan, maka barulah timbul persoalan, peraturan manakah yang patut dipatuhi. Maka peraturan yang paling tinggilah yang akan diberlakukan. Persoalan inilah juga yang menjadi penyebab munculnya perdebatan soal kedaulatan Tuhan.
Selanjutnya, dengan munculnya teori yang dibawa oleh Marsilius, pemerintahan di Eropa menjadi berubah. Dulunya sebuah pemerintah yang sangat menghormati pihak gereja Catolik Roma, sekarang berubah menjadi pemerintahan yang diperintah oleh raja yang kekuasaannya digerakkan dengan cara absolut. Karena seorang raja tidak merasa bertanggung jawab kepada siapa pun kecuali Tuhan. Mereka merasa berhak untuk melakukan apa saja. Kenyataan ini terlihat jelas pada zaman renaissance.
D. Teori Kedaulaan Rakyat ( Perjanjian Masyarakat )
Konsep modern tentang kedaulatan awalnya diungkapkan oleh ahli hukum Jean Bodin (1530-1596) sebagai penanda lahirnya teori kedaulatan rakyat. Daulatnya Bodin dipahami sebagai kekuasaan tertinggi, abadi, dan tak terpisahkan, ditandai dengan kemampuan untuk membuat suatu hukum tanpa persetujuan, dari pihak lainnya. Artinya menentukan sesuatu.
Kedaulatan itu bisa dimiliki oleh penguasa tunggal, kelompok tertentu, atau seluruh elemen warga. Bisa dalam bentuk pemerintahan persemakmuran, bisa juga sebagai monarki, aristokrasi, atau negara bangsa. Tanpa itu, status itu kumpulan manusia saja, bukanlah negara dan sama sekali bukan kedaulatan, bisa didudukkan sebagai crowd, sebentuk kerumunan tanpa pemerintahan dan kekuasaan.
Dalam Six livre de la République (1576; Enam buku persemakmuran) Bodin cenderung mendukung monarki mutlak, tetapi ide-ide hukum warisan abad pertengahan dan konflik politik pada masa itu telah membawanya ke dalam beberapa kontradiksi ide, dan Bodin cenderung perubahan ke depannya.
Thomas Hobbes (1588-1679), memberikan teori yang paling logis dari semua teori kedaulatan. Puncak abstraksi ada di dalam karya-Nya, Leviathan (1651), yang mengabaikan fakta sejarah dari pemikiran sebelumnya. Walau sama saja dengan Bodin, konsep Hobbes kedaulatan tampak serupa dalam hal kekuasaan absolut, keutuhan, dan tampilan voluntaris dari hukum.
Tapi premis lainnya sepenuhnya berbeda. Manusia masuk dalam citra organis Aristoteles, bahwa manusia adalah binatang sosial dan politik: mereka adalah makhluk egois yang saling bermusuhan satu sama lain. Arena sosialnya adalah sama dengan keadaan alam liar dan buas, di mana yang namanya kedaulatan itu artinya adalah perasaan aman diri masing-masing dan kelompoknya.
Barangkali penjelasan Hoobes inilah yang tengah disaksikan oleh generasi politik modern saat ini. Di mana ideologi liberalisme, yang dibuka kerannya oleh revolusi Perancis, tengah dipraktikan di pelbagai kekuasaan dunia. Lambat laun, kekuasaan akan di ambil oleh para klik [kelompok ekslusif].
Para klik ini bukan raja, bukan penguasa kharismatik, bukan pula tuan tanah. Bentuknya adalah kekuasaan rakyat dari suatu kelompok kecil yang menjadi kuat, sampai akhirnya akan dimunculkan tokoh tirani di atas pucuknya. Tirani yang didasarkan pada undang-undang di bawah todongan fee para pengusaha pendukung klik.
Ini hanya penjelasan kecil mengenai tahap demi tahap dari revolusi Perancis yang masih laku sampai saat ini di berbagai negara berkembang, dari Mesir, Tunisia, Indonesia, Thailand, bahkan diam-diam di Amerika Serikat. Ketika raja kharismatik di penggal kepalanya [Lodewijs XI], maka yang maju ke depan adalah pimpinan agitatif [Robespierre].
Ketika pimpinan agitatif dipenggal, yang memimpin adalah kongsi [triumvirat], kemudian majulah seorang diktator kejam [Napoleon]. Dan berakhir di bawah pimpinan klik, yang memimpin demi popularitas dan cari aman. Periode itu mirip sekali dengan kepemimpinan modern Indonesia, dari pemerintahan raja-raja kecil kepada Soekarno, Supersemar, Soeharto, lantas kali ini SBY.
Teori ini merupakan ajaran dari kaum monarkomaken, khususnaya jaran Johannes Althusius. Bahwa individu-individu itu dengan melalui perjannjian masyarakat membentuk masyarakat, dan kepada masyarakat inilah para individu itu menyerahkan kekuasaannya, yang selanjutnya masyarakat inilah yang menyerahkan kekuasaan tersebut kepada Raja.
Jadi Raja mendapat kekuasaan dari individu-individu tersebut. Individu mendapat kekuasaan dari hukum alam. Karena hukum alam yang menjadi dasar kekuasaan raja, maka kekuasaan raja itu dibatasi dengan hukum alam, dan karena raja mendapat kekuasaannya dari rakyat, maka pemegang kekuasaan tertinggi adalah rakyat, yang berdaulat adalah rakyat dan raja anya sebgai pelaksana dari apa yang diputuskan dan dikehendaki rakyat.
Dalam isu kedaulatan rakyat, pemikir yang seringkali dirujuk adalah JJ Rousseau. Dalam bukunya Contract ,Sodale (1763), Rousseau berpendapat bahwa manusia dengan moralitas yang tidak dibuat-buat justru waktu manusia berada dalam keluguan. Sayangnya, keluguan ini hilang ketika membentuk masyarakat dengan lembaga-lembaganya. Pada saat itu, manusia beralih menjadi harus taat pada peraturan yang dibuat oleh penguasa yang mengisi kelembagaan dalam masyarakat. Peraturan itu menjadi membatasi dan tidak bermoralitas asli karena dibuat oleh penguasa. Dengan demikian, manusia menjadi tidak memiliki dirinya sendiri.
Bagaimana cara mengembalikan manusia kepada keluguan dengan moralitas alamiah dan bermartabat? Menurut Rousseau hanya ada satu jalan: kekuasaan para raja dan kaum bangsawan yang mengatur masyarakat barus ditumbangkan dan kedaulatan rakyat harus ditegakkan. Kedaulatan rakyat berarti bahwa yang berdaulat terhadap rakyat hanyalah rakyat sendiri. Tak ada orang atau kelompok yang berhak untuk meletakan hukumnya pada rakyat. Hukum hanya sah bila ditetapkan oleh kehendak rakyat.
Faham kedaulatan rakyat adalah penolakan terhadap faham hak raja atau golongan atas untuk memerintah rakyat. Juga, penolakan terhadap anggapan bahwa ada golongan-golongan sosial yang secara khusus berwenang untuk mengatur rakyat. Rakyat adalah satu dan memimpin dirinya sendiri.
Akan tetapi pertanyaan berikutnya adalah: yang manakah kehendak rakyat itu? Bukankah rakyat adalah ratusan juta individu (di Indonesia) yang masing-masing punya kemauan dan jarang sekali atau tak pernah mau bersatu?
Rousseau menjawab pertanyaan ini dengan teori Kehendak Umum. Menurut teori ini: sejauh kehendak manusia diarahkan pada kepentingan sendiri atau kelompoknya maka kehendak mereka tidak bersatu atau bahkan berlawanan. Tetapi sejauh diarahkan pada kepentingan umum, bersama sebagai satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum.
Kepercayaan kepada kehendak umum dari rakyat itu lah yang menjadi dasar konstruksi negara dari Rousseau. Undang-undang harus merupakan ungkapan kehendak umum itu. Tidak ada perwakilan rakyat oleh karena kehendak rakyat tidak dapat diwakili. Rakyat sendiri harus berkumpul dan menyatakan kehendaknya melalui perundangan yang diputuskannya. Pemerintah hanya sekedar panitia yang diberi tugas melaksanakan keputusan rakyat. Karena rakyat memerintah sendiri dan secara langsung, maka tak perlu ada undang-undang dasar atau konstitusi. Apa yang dikehendaki rakyat itu lah hukum.
Dengan demikian, negara menjadi republik, res publica, urusan umum. Kehendak umum disaring dari pelbagai keinginan rakyat melalui pemungutan suara. Keinginan yang tidak mendapat dukungan suara terbanyak dianggap sebagai tidak umum dan akihirnya harus disingkirkan. Kehendak yang bertahan sampai akhir proses penyaringan, itulah kehendak umum.
Untuk memahami kehendak umum menurut Rossesau diperlukan virtue, keutamaan. Orang harus dapat membedakan antara kepentingan pribadi dan kelompoknya di satu pihak dan kepentingan umum di lain pihak. Jadi untuk berpolitik dan bernegara diperlukan kemurnian hati yang bebas dari segala pamrih. Berpolitik menjadi masalah moralitas.
Dalam perkembangannya, teori kehendak umum yang digunakan untuk menjelaskan kedaulatan rakyat memiliki dua kelemahan, sebagaimana disebutkan oleh Franz Magnis Suseno (1992: 83-85): Pertama, tidak dikenalnya konsep perwakilan rakyat yang nyata. Rousseau lebih menekankan pada kebebasan total rakyat dan berasumsi bahwa kehendak rakyat tidak dapat diwakilkan. Kedua, tidak adanya pembatasan-pembatasan konstitusional terhadap penggunaan kekuasaan negara
Kedua kelemahan ini telah mengantarkan pada suatu tragisme kehendak umum, sebagaimana terjadi di Perancis, sekitar 200 tahun lampau. Pada saat itu, kehendak bebas dan total rakyat telah menjatuhkan rezim otoriter Louis XVI tetapi di lain sisi melahirkan suatu totalitarisme baru dari yang mengatasnamakan "kehendak murni" rakyat. Totalitarisme itu, di bawah pimpinan Robbespierre, telah menghadirkan suatu teror. Robbespierre mengidentifikasi kehendaknya dengan kehendak rakyat. Ketika itu, kehendak yang tidak sama dengannya, secara sederhana dianggap sebagai kehendak di luar "kehendak murni" rakyat.
Perkembangan tragis dari kehendak umum ke suatu kondisi teror dari kehendak umum terhadap kehendak minoritas, memang acap terjadi setelah fase revolusi dilalui dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, Eric Hoffer (Hoffer: 1951), menyarankan untuk dilakukan suatu peralihan dari fase revolusioner kepada suatu pembentukan konstitusi yang ditaati oleh rezim baru dan rakyatnya.
Prasaran Hoffer pada dasarnya melengkapi asumsi dari Rousseau tentang perlunya suatu moralitas untuk memimpin negara. Jadi moralitas saja tidak cukup. Kalau demikian, ini menjadi menarik. Bagaimana komposisi moralitas masyarakat (dan penyelenggara negara) plus konstitusi dan dasar legal di Indonesia dapat diandalkan untuk terjadinya 2 (dua) hal yang menurut Magnis, menjadi prasyarat kedaulatan rakyat?
E. Teori Kedaulatan hukum
Tokoh dari aliran ini adalah Prof. Mr. H. Krabbe dan Leon Duguit. Menurut Karrabe, hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan orang terbanyak yang dituduhkan kepadanya. Karena sifatnya yang berusaha mencapai keadilan yang setinggi-tingginya, maka hukum itu wajib ditaati oleh manusia.
Hukum itu ada, karena anggota masyarakat mempunyai perasaan bagaimana seharusnya hukum itu. Hanyalah kaidah yang timbul dari perasaan hukum anggota suatu masyarakat, mempunyai kewajiban/ kekuasaan
F. Asas Keseimbangan
Kranenburg, murid dari dan pengganti Prof. Karabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang. Dalil tersebut dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut : “ tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan terlebih dahulu “. Dalil ini oleh Kranenburg dinamakan asas keseimbangan.
Penemuan Hukum
Akibat perkembangan masyarakat, maka perkembangan hukum berjalan seiring jalan. Hakim merupakan salah satu faktor pembentukan hukum. Badan legislatif menetapkan peraturan yang berlaku sebagai peraturan umum, sedangkan pertimbangan dalam pelaksanaan hal-hal konkret diserahkan kepada hakim sebagai pemegang kekuasaan Yudikatif.
Yang dilakukan hakim yaitu :
a. Konsturksi hukum. Misalnya pada pasal1576 tentang jual beli “Koop Break Geen Huur”
b. Penafsiran hukum. Ada beberapa metode penafsiran, yaitu penafsiran tata bahasa, yaitu pernafsiran yang berdasarkan ketentuan UU yang berpedoman pada perkataan.
Penfsiran sahih, yaitu penfsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang telah diberikan oleh pembentuk UU
Penfsiran historis, yaitu penfsiran yang berdasarkan sejarah hukum dan UU-nya.
Penfsiran sistematis, yang penfsiran memiliki susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya, baik dalam UU itu, maupun dengan UU lainnya.
Penfsiran nasional, yaitu penfsiran memiliki sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku.
Penfsiran teleologis, yaitu penfsiran dengan mengingat maksud dan tujuan Undang-Undang itu
Penfsiran ekstensif, yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu.
Penfsiran restriktif, yaitu penfsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam peraturan itu.
Penfsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya.
Penfsiran a contrario, yaitu suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
Daftar Pustaka :
Drs. C.S.T. Kansil, S.H. pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka
http://medizton.wordpress.com/2010/05/15/teori-kedaulatan/
http:/anneahira.com/teori-kedaulatan-rakyat.htm
http://interseksi.org/publications/essays/articles/telaah_konstitusional.html
http://wisegeek.com/what-is-natural-law-theory.htm
http://iep.utm.edu/natlaw/
http://akitiano.blogspot.com/2007/07/kedaulatan-tuhan-dan-kedaulatan-rakyat.html
http://setia-ceritahati.blogspot.com/2010/04/mazhab-sejarah-historical-rechtsshcule.html
http://kuliahade.wordpress.com/2010/01/31/filsafat-hukum-mazhab-sejarah/
http://www.slideshare.net/joehasan/teori-hukum
Peranan Fungsi dan Tujuan Hukum
time post
12:06:00 am
Perana Fungsi Hukum dan Tujuan Hukum
Peranan hukum dalam masyarakat :
1. Dalam keluarga.
- Seorang laki-laki dan wanita yang akan mengikatkan diri dalam perkawinan telah melakukan perbuatan hukum ( Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974).
- Pencatatan mengenai kelahiran anak, perceraian, kematian, perkawinan pada kantor catatan sipil tanpa kita sadari telah mematuhi pasal 4 Bab kedua buku ke II undang-undang hukum perdata.
- Sikap hormat kepada Ibu dan Bapak (pasal 298 undang-undang hukum perdata).
- Orang tua yang mengawasi anaknya yang belum dewasa (KUH perdata pasal 462).
2. Dalam pekerjaan (hubungan kerja)
- Penandatanganan perjanjian kerja (KUH perdata Bab 7 A pasal 1601, 1601 a sampai dengan pasal 1601 c).
- Pimpinan perusahaan membuat peraturan mengenai pekerjaan (UU perburuhan)
- Majikan harus membayar upah kepada buruh (Bab ketiga dari KUH perdata)
- Seorang sarjana yang bekerja (UU No.8 /1961 tanggal 29 April 1961 tentang wajib kerja sarjana).
3. Dalam menjalankan pekerjaan/profesi
- Terikat pada peraturan kepegawaian.
- Dokter yang menyimpan rahasia kedokteran (Peraturan Pemerintah No. 10 tanggal 21 Mei 1966, LN 1966 No. 02)
4. Tentang hak
- Pemilik tanah dapat menuntut ganti rugi kepada pihak yang mengurus atau menguasai tanahnya.
- Buruh menuntut pesangon apabila diberhentikan tanpa ada alasan yang jelas (tuntutan semacam ini diatur dalam undang-undang perburuhan)
5. Perkembangan masyarakat
- Perkembangan masyarakat yang diikuti dengan perkembangan teknologi serta pesatnya pertambahan penduduk makin menunjukkan kepentingan hukum dalam masyarakat.
- Didalam hubungan satu sama lainnya harus mengerti tentang kedudukan, hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat.
- Orang harus mengerti tenntang perbuatan yang diperbolehkan oleh undang-undang (Rechtshandeling) dan yang tidak diperbolehkan (Onrechtmatige daad)
6. Hubungan dengan ilmu lainnya
- Sebagai bagian dari Ilmu Sosial Ilmu Hukum memiliki kaitan dengan ilmu-ilmu sosial lainnya.
- Seorang Insinyur membuat kontrak dengan pihak yang memberikan pekerjaan.
- Seorang Geolog harus meneliti dahulu status tanah yang digalinya dan harus mendapat izin terlebih dahulu dari yang memiliki tanah.
- Sebuah bank harus meneliti dahulu tentang identitas, nilai jaminan dan sebagainya dari orang yang mengambil kredit.
Pembahasan mengenai tujuan hukum tidak lepas dari sifat hukum dari masing-masing masyarakat yang memiliki karakteristik atau kekhususan karena pengaruh falsafah yang menjelma menjadi ideologi masyarakat atau bangsa yang sekaligus berfungsi sebagai cita hukum.
Dari landasan teori yang dikemukakan parah ahli terlihat dengan jelas perbedaan-perbedaan pendapat dari para ahli tentang tujuan hukum, tergantung dari sudut pandang para ahli tersebut melihatnya, namun semuanya tidak terlepas dari latar belakang aliran pemikiran yang mereka anut sehingga dengannya lahirlah berbagai pendapat yang tentu saja diwarnai oleh aliran serta faham yang dianutnya.
Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal menurut Gustav Radbruch yaitu menggunakan asas prioritas sebagai tiga nilai dasar hukum atau sebagai tujuan hukum, masing-masing adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum yang diharapkan.
Secara khusus masing-masing jenis hukum mempunyai tujuan spesifik, sebagai contoh hukum pidana tentunya mempunyai tujuan spesifik dibandingkan dengan hukum perdata, demikian pula hukum formal mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum materil, dan lain sebagainya.
Kalau dikatakan bahwa tujuan hukum adalah sekaligus keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan (komentar Rusli Effendy dkk terhadap Gustav Radbruch). Sebagaimana diketahui, di dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya adil (menerut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankannya. Oleh karena itu bagaimana keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Olehnya itu asas prioritas yang dikemukakan Gustav Radbruch pertama-tama kita harus memprioritaskan keadilan barulah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian hukum. Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, seyogyanya ketiga nila i dasar hukum itu dapat diwujudkan secara bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Dengan penerapan asas prioritas ini, sisten hukum kita dapat tetap tegak terhindar dari konflik intern yang dapat menghancurkan. Untuk mencapai tujuan yang dapat menciptakan kedamaian, ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat, terutama masyarakat yang kompleks dan mejemuk seperti di Indonesia, maka saya untuk sementara menerima pandangan yang dikemukakan baik Rusli Effendy maupun Achmad Ali yang menganggap sangat realistis kalau kita menganut asas prioritas yang kasuistis yang ketika tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi dalam masyarakat, sehingga pada kasus tertentu dapat diprioritaskan salah satu dari ketiga asas tersebut sepanjang tidak mengganggu ketenteraman dan kedamaian merupakan tujuan akhir dari hukum itu sendiri.
Keterangan yang telah dikemukakan memiliki sebuah kesimpulan yaitu hukum selalu mengikuti serta melekat pada manusia yang bermasyarakat. Hukum memiliki fungsi : menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul. Dalam perkembangan masyarakat fungsi hukum terdiri dari :
a. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat.
Hukum sebagai norma merupakan petunjuk untuk kehidupan manusia dalam masyarakat, hukum menunjukkan mana yang baik dan mana yang buruk, hukum juga memberi petunjuk, sehingga segala sesuatunya itu dapat berjalan dengan tertib dan teratur. Begitu pula hukum dapat memaksa agar hukum itu ditaati anggota masyarakat itu sendiri.
b. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.
- Hukum mempunyai cirri memerintah dan melarang
- Hukum mempunyai sifat memaksa
- Hukum mempunyai daya yang mengikat fisik dan Psikologis
Dikarenakan hukum memiliki sifata dan ciri-ciri yang telah disebutkan, maka hukum dapat memberi keadilan, dalam arti dapat menentukan siapa yang salah, dan siapa yang benar, dapat memaksa agar peraturan dapat ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
c. Sebagai sarana penggerak pembangunan.
Daya mengikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan atau di daya gunakan untuk menggeraakkan pembangunan. Disini hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
d. Sebagai fungsi kritis.
Menurut Dr. Soedjono Dirdjosisworo, S.H dalam bukunya pengantar ilmu hukum, hal 155 mengatakan : “Dewasa ini sedang berkembang suatu pandangan bahwa hukum mempunyai fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak semata-mata melakukan pengawasan pada aparatur pemerintah (petugas) saja melainkan aparatur penegak hukum termasuk didalamnya”.
e. Sebagai penentuan alokasi wewenang.
Maksudnya secara terperinci siapa yang boleh melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, siapa yang harus menaatinya, siapa yang memilih sanksi yang tepat dan adil, seperti konsep hukum konstitusi negara.
f. Sebagai alat penyelesaian sengketa.
Seperti contoh persengekataan harta waris dapat segera selesai dengan ketetapan hukum waris yang sudah diatur dalam hukum perdata.
g. Memelihara kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah.
Yaitu dengan cara merumuskan kembali hubungan-hubungan esensial antara anggota-anggota masyarakat.
Seperti diketahui bahwa di dalam setiap masyarakat senantiasa terdapat berbagai kepentingan dari warganya. Di antara kepentingan itu ada yang bisa selaras dengan kepentingan yang lain, tetapi ada juga kepentingan yang memicu konflik dengan kepentingan yang lain. Untuk keperluan tersebut, hukum harus difungsikan menurut fungsi-fungsi tertentu untuk mencapai tujuannya. Dengan kata lain, fungsi hukum adalah menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan konflik yang terjadi.
Fungsi hukum menurut Franz Magnis Suseno, adalah untuk mengatasi konflik kepentingan. Dengan adanya hukum, konflik itu tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai objektif dengan tidak membedakan antara yang kuat dan yang lemah, dan orientasi itu disebut keadilan.
Dalam pandangan Achmad Ali, bahwa fungsi hukum itu dapat dibedakan ke dalam :
a. Fungsi hukum sebagai “a tool of social control”.
b. Fungsi hukum sebagai “a tool of social engineering”.
c. Fungsi hukum sebagai simbol.
d. Fungsi hukum sebagai “a political instrument”.
e. Fungsi hukum sebagai integrator.
Menurut Lawrence M. Friedmann, dalam bukunya “Law and Society an Introduction”, fungsi hukum adalah :
a. pengawasan/pengendalian sosial (social control).
b. penyelesaian sengketa (dispute settlement).
c. rekayasa sosial (social engineering).
Berkaitan dengan fungsi hukum, Muchtar Kusumaatmadja, mengajukan konsepsi hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, yang secara singkat dapat dikemukakan pokok-pokok pikiran beliau, bahwa fungsi hukum di dalam pembangunan sebagai sarana pembaruan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaruan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan.
Di samping itu, hukum sebagai tata kaedah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional, yakni untuk menjamin adanya kepastian dan ketertiban.
Theo Huijbers, menyatakan bahwa fungsi hukum ialah memelihara kepentingan umum dalam masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama.
Sedangkan dalam pandangan Peters, yang menyatakan bahwa fungsi hukum itu dapat ditinjau dari tiga perspektif :
1. Perspektif kontrol sosial daripada hukum. Tinjauan ini disebut tinjauan dari sudut pandang seorang polisi terhadap hukum (the policement view of the law).
2. Perspektif social engineering, merupakan tinjauan yang dipergunakan oleh para penguasa (the official perspective of the law), dan karena pusat perhatian adalah apa yang diperbuat oleh penguasa dengan hukum.
3. Perspektif emansipasi masyarakat daripada hukum. Perspektif ini merupakan tinjauan dari bawah terhadap hukum (the bottom’s up view of the law) dan dapat pula disebut perspektif konsumen (the consumer’s perspective of the law).
Dari beberapa pendapat pakar hukum mengenai fungsi hukum di atas, dapatlah dikatakan bahwa fungsi hukum, sebagai berikut :
a. Memberikan pedoman atau pengarahan pada warga masyarakat untuk berprilaku.
b. Pengawasan atau pengendalian sosial (social control).
c. Penyelesaian konflik atau sengketa (dispute settlement).
d. Rekayasa sosial (social engineering).
Fungsi hukum sebagai pedoman atau pengarah prilaku, kiranya tidak memerlukan banyak keterangan, mengingat bahwa hukum telah disifatkan sebagai kaedah, yaitu sebagai pedoman prilaku, yang menyiratkan prilaku yang seyogianya atau diharapkan diwujudkan oleh masyarakat apabila warga masyarakat melakukan suatu kegiatan yang diatur oleh hukum.
Hukum sebagai sarana pengendali sosial, menurut A. Ross sebagaimana dikutip Soerjono Soekanto, adalah mencakup semua kekuatan yang menciptakan serta memelihara ikatan sosial. Ross menganut teori imperatif tentang fungsi hukum dengan banyak menghubungkannya dengan hukum pidana. Dalam kaitan ini, hukum sebagai sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat dari ancaman maupun perbuatan yang membahayakan diri serta harta bendanya. Misalnya dapat dikemukakan perbuatan kejahatan penganiayaan dalam Pasal 351 KUHP. Norma ini jelas merupakan sarana pemaksa yang berfungsi untuk melindungi warga masyarakat terhadap perbuatan yang mengakibatkan terjadinya penderitaan pada orang lain.
Pengendalian sosial (social control) dari hukum, pada dasarnya memaksa warga masyarakat agar berprilaku sesuai dengan hukum, Dengan kata lain, pengendalian sosial daripada hukum dapat bersifat preventif maupun represif. Preventif merupakan suatu usaha untuk mencegah prilaku yang menyimpang, sedangkan represif bertujuan untuk mengembalikan keserasian yang terganggu.
Hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa (dispute settlement). Di dalam masyarakat berbagai persengketaan dapat terjadi, misalnya antara keluarga yang dapat meretakan hubungan keluarga, antara mereka dalam suatu urusan bersama (company), yang dapat membubarkan kerjasama. Sengketa juga dapat mengenai perkawinan atau waris, kontrak, tentang batas tanah, dan sebagainya. Adapun cara-cara penyelesaian sengketa dalam suatu masyarakat, ada yang diselesaikan melalui lembaga formal yang disebut dengan pengadilan, dan ada yang diselesaikan secara sendiri oleh orang-orang yang bersangkutan dengan mendapat bantuan dari orang yang ada di s ekitarnya. Hal ini bertujuan untuk mengukur, sampai berapa jauh terjadi pelanggaran norma dan apa yang harus diwajibkan kepada pelanggar supaya yang telah dilanggar itu dapat diluruskan kembali.
Hukum sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), menurut Satjipto Rahardjo, tidak saja digunakan untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkan pada tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandang tidak sesuai lagi dengan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Dengan demikian, hukum dapat berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat.
Agar fungsi hukum terlaksana dengan baik, maka para penegak hukum dituntut kemapuannya untuk melaksanakan dan menerapkan hukum dengan baik, dengan seni yang dimiliki masing-masing petugas, misalnya:
- Menafsirkan hukum sesuai dengan keadilan dan posisi masing-masing.
- Bila perlu diadakan penafsiran analogis penghalusan hukum atau memberi ungkapan a contrario.
Disamping hal-hal tersebut diatas dibutuhkan kecakapan dan ketrampilan serta ketangkasan para penegak hukum dalam menerapkan hukum yang berlaku.
Dari sekian peranan dan fungsi hukum, maka tujuan dari perwujudan hukum itu haruslah ada. Sesuai dengan banyaknya pendapat tentang pengertian hukum, maka tujuan hukum juga terjadi perbedaan pendapat antara satu ahli dengan ahli yang lain. Berikut ini beberapa pendapat ahli hukum tentang tujuan hukum:
1. Prof. Lj. Van Apeldorn
Dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht” mengatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Demi mencapai kedamaian hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu sama lain, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Pendapat Apeldorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara dua teori tujuan hukum, teori etis dan utilitis.
2. Aristoteles
Dalam Bukunya “Rhetorica” mencetuskan teorinya bahwa tujuan hukum menghendaki keadilan semata-mata dan isi daripada hukum ditentukan oleh kesadaran etis mengenai apa yang dikatakan adil dan apa yang dikatakan tidak adil. Menurut teori ini buku mempunyai tugas suci dan luhur, ialah keadilan dengan memberikan tiap-tiap orang apa yang berhak dia terima yang memerlukan peraturan sendiri bagi tiap-tap kasus.
Apabila ini dilaksanakan maka tidak akan ada habisnya. Oleh karenanya Hukum harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene Regels” (Peratuaturan atau ketentuan-ketentyuan umum. Peraturan ini diperlukan oleh masyarakat teratur demi kepentingan kepastian Hukum, meskipun pada sewaktu-waktu dapat menimbulkan ketidak adilan.
3. Prof. Soebekti SH
Menurut Prof. Subekti SH keadilan berasal dari Tuhan YME dan setiap orang diberi kemampuan, kecakapan untuk meraba dan merasakan keadilan itu. Dan segala apa yang di dunia ini sudah semestinya menimbulkan dasar-dasar keadilan pada manusia.
Dengan demikian, hukum tidak hanya mencarikan keseimbangan antara pelbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, akan tetapi juga untuk mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan “Ketertiban“ atau “Kepastian Hukum“.
“Dasar-dasar Hukum dan Pengadilan” mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah melayani kehendak negara yakni mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyat. Dalam melayani tujuan negara, hukum akan memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya.
4. Geny (Teori Ethic)
Menurut Geny dengan teori etisnya, bahwa tujuan hukum adalah untuk keadilan semata-mata. Tujuan hukum ditentukan oleh unsur keyakinan seseorang yang dinilai etis.
Adil atau tidak, benar atau tidak, berada pada sisi batin seseorang, menjadi tumpuan dari teori ini. Kesadaran etis yang berada pada tiap-tiap batin orang menjadi ukuran untuk menentukan warna keadilan dan kebenaran.
5. Jeremy Bentham (Teori Utility)
Dalam bukunya “Introduction to the morals and legislation” .Menurut Bentham dengan teori utilitasnya, bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Pendapat ini dititik beratkan pada hal-hal yang berfaedah bagi orang banyak dan bersifat umum tanpa memperhatikan soal keadilan. Disini kepastian melalui hukum bagi perorangan merupakan tujuan utama dari Hukum. Maka teori ini menetapkan bahwa tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah sebanyak-sebanyaknya.
6. Mr. J.H.P. Bellefroid
Bellefroid menggabungkan 2 pandangn ekstrim tersebut. Ia menggabungkan dalam bukunya “Inleiding tot de Rechts wetenshap in Nederland” bahwa isi hukum harus ditentukan menurut 2 asas, ialah asas keadilan dan faedah.
7. Prof. Mr. J van Kan
Ia berpendapat bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia agar kepentingan itu tidak dapat diganggu. Disini jelaslah bahwa hukum bertugas untuk menjamin kepastian hukum di dalam masyarakat dan juga menjaga serta mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim sendiri. Tetapi, tiap perkara harus diselesaikan melalui proses pengadilan berdasrkan hukum yang berlaku.
8. Dr. Wirjono Prodjodikoro. S.H
Dalam bukunya “ Perbuatan Melanggar Hukum”. Mengemukakan bahwa tujuan Hukum adalah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat. Ia mengatakan bahwa masing-masing anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang beraneka ragam. Wujud dan jumlah kepentingannya tergantung pada wujud dan sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh para anggota masyarakat masing-masing.
Hawa nafsu masing-masing menimbulkan keinginan untuk mendapatkan kepuasan dalam hidupnya sehari-hari dan supaya segala kepentingannya terpelihara dengan sebaik-baiknya.
Untuk memenuhi keinginan-keinginan tersebut timbul berbagai usaha untuk mencapainya, yang mengakibatkan timbulnya bentrokan-bentrokan antara barbagai macam kepentingan anggota masyarakat. Akibat bentrokan tersebut masyarakat menjadi guncang dan keguncangan ini harus dihindari. Menghindarkan keguncangan dalam masyarakat inilah sebetulnya maksud daripada tujuan hukum, maka hukum menciptakan pelbagai hubungan tertentu dalam hubungan masyarakat.
Rusli Effendy (1991:79) mengemukakan bahwa tujuan hukum dapat dapat dikaji melalui tiga sudut pandang, yaitu :
o Dari sudut pandang ilmu hukum normatif, tujuan hukum dititik beratkan pada segi kepastian hukum.
o Dari sudut pandang filsafat hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan pada segi keadilan.
o Dari sudut pandang sosiologi hukum, maka tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatan.
Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal, dapat dilihat dari tiga aliran konvensional :
1. Aliran Etis
Aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan. Hukum ditentukan oleh keyakinan yang etis tentang adil dan yang tidak adil, dengan perkataan lain hukum menurut aliran ini bertujuan untuk merealisir atau mewujudkan keadilan. Pendukung aliran ini antara lain, Aristoteles, Gery Mil, Ehrliek, Wartle.
Salah satu pendukung aliran ini adalah Geny. Sedangkan penetang aliran ini pun cukup banyak, antara lain pakar hukum Sudikno Mertokusumo: “Kalau dikatakan bahwa hukum itu bertujuan mewujudkan keadilan, itu berarti bahwa hukum itu identik atau tumbuh dengan keadilan, hukum tidaklah identik dengan keadilan. Dengan demikian berarti teori etis itu berat sebelah” (Achmad Ali, 1996:86).
Tegasnya keadilan atau apa yang dipandang sebagai adil sifatnya sangat relatif, abstrak dan subyektif. Ukuran adil bagi tiap-tiap orang bisa berbeda-beda. Olehnya itu tepat apa yang pernah diungkapkan oleh N.E. Algra bahwa : Apakah sesuatu itu adil (rechtvaardig), lebih banyak tergantung pada Rechtmatig heid (kesesuaian dengan hukum) pandangan pribadi seseorang penilai. Kiranya lebih baik tidak mengatakan “itu adil”, tetapi itu mengatakan hal ini saya anggap adil memandang sesuatu itu adil, terutama merupakan sesuatu pendapat mengenai nilai secara pribadi. Achmad Ali (1990:97).
2. Aliran Utilistis
Menurut aliran ini mengaggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebsar-besarnya bagi manusia dalam jumlah yang sebanyak-banyaknya. Jadi pada hakekatnya menurut aliran ini, tujuan hukum adalah manfaat dalam mengahasilkan kesenangan atau kebahagiaan yang terbesar bagi jumlah orang yang terbanyak.
Aliran utilistis ini mempunyai pandangan bahwa tujuan hukum tidak lain adalah bagaiamana memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi warga masyarakat (ajaran moral praktis).
3. Aliran Yuridis Dogmatik
Menurut aliran ini menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum, fungsi hukum dapat berjalan dan mampu mempertahankan ketertiban.
Penganut aliran yuridis dogmatik ini bahwa adanya jaminan hukum yang tertuang dari rumusan aturan perundang-undangan adalah sebuah kepastian hukum yang harus diwujudkan. Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap aturan, persoalan keadilan dan kemanfaatan hukum bukan alasan pokok dari tujuan hukum tetapi yang penting adalah kepastian hukum.
Bagi penganut aliran ini, janji hukum yang tertuang dalam rumusan aturan tadi merupakan kepastian yang harus diwujudkan, penganut aliran ini melupakan bahwa sebenarnya janji hukum itu bukan suatu yang harus, tetapi hanya suatu yang seharusnya.
Dari ketiga aliran tujuan hukum di atas tidaklah bersifat baku, dalam artian masih ada pendapat-pendapat lain tentang tujuan hukum yang bisa dilambangkan dengan melihat latar belakang konteks sosial masyarakat yang selalu berubah.
Pembahasan mengenai tujuan hukum tidak lepas dari sifat hukum dari masing-masing masyarakat yang memiliki karakteristik atau kekhususan karena pengaruh falsafah yang menjelma menjadi ideologi masyarakat atau bangsa yang sekaligus berfungsi sebagai cita hukum.
Dari landasan teori yang dikemukakan di atas terlihat dengan jelas perbedaan-perbedaan pendapat dari para ahli tentang tujuan hukum, tergantung dari sudut pandang para ahli tersebut melihatnya, namun semuanya tidak terlepas dari latar belakang aliran pemikiran yang mereka anut sehingga dengannya lahirlah berbagai pendapat yang tentu saja diwarnai oleh aliran serta faham yang dianutnya.
Adapun tujuan hukum pada umumnya atau tujuan hukum secara universal menurut Gustav Radbruch yaitu menggunakan asas prioritas sebagai tiga nilai dasar hukum atau sebagai tujuan hukum, masing-masing: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai landasan dalam mencapai tujuan hukum yang diharapkan.
Secara khusus masing-masing jenis hukum mempunyai tujuan spesifik, sebagai contoh hukum pidana tentunya mempunyai tujuan spesifik dibandingkan dengan hukum perdata, demikian pula hukum formal mempunyai tujuan spesifik jika dibandingkan dengan hukum materil, dan lain sebagainya.
Kalau dikatakan bahwa tujuan hukum adalah sekaligus keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan (komentar Rusli Effendy dkk terhadap Gustav Radbruch). Sebagaimana diketahui, di dalam kenyataanya sering sekali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan. Sebagai contoh dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya adil (menerut persepsi keadilan yang dianut oleh hukum tersebut tentunya) bagi si penggugat atau tergugat atau bagi si terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas,sebaliknya kalau kemanfaatan masyarakat luas dipuaskan, perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa dikorbankannya. Oleh karena itu bagaimana keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Olehnya itu asas prioritas yang dikemukakan Gustav Radbruch pertama-tama kita harus memprioritaskan keadilan barulah kemanfaatan dan terakhir adalah kepastian hukum. Idealnya diusahakan agar setiap putusan hukum, baik yang dilakukan oleh hakim, jaksa, pengacara maupun aparat hukum lainnya, seyogyanya ketiga nilai dasar hukum itu dapat diwujudkan secara bersama-sama, tetapi manakala tidak mungkin, maka haruslah diprioritaskan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Dengan penerapan asas prioritas ini, sisten hukum kita dapat tetap tegak terhindar dari konflik intern yang dapat menghancurkan.
Untuk mencapai tujuan yang dapat menciptakan kedamaian, ketentraman dan ketertiban dalam masyarakat, terutama masyarakat yang kompleks dan mejemuk seperti di Indonesia, maka penulis untuk sementara menerima pandangan yang dikemukakan baik Rusli Effendy maupun Achmad Ali yang menganggap sangat realistis kalau kita menganut asas prioritas yang kasuistis yang ketika tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi dalam masyarakat, sehingga pada kasus tertentu dapat diprioritaskan salah satu dari ketiga asas tersebut sepanjang tidak mengganggu ketenteraman dan kedamaian merupakan tujuan akhir dari hukum itu sendiri.
Keadilan adalah sesuatu yang sukar didefinisikan, tetapi bisa dirasakan dan merupakan unsur yang tidak bisa, tidak harus ada dan tidak dapat dipisahkan dari hukum sebaga perangkat asas dan kaidah yang menjamin adanya keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam masyarakat. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Sila Keadilan Sosial yang merupakan bagian penting daris sistem nilai Indonesia.
Daftar Pustaka :
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H. LL.M dan Dr. B. Arief Sidharta, S.H.
2009. Pengantar Ilmu Hukum. P.T. ALUMNI
Website:
http://thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/tugas-fungsi-dan-tujuan-hukum/
http://www.scribd.com/doc/29595284/Tug-Ass-2
http://www.docstoc.com/docs/41754412/pertemuan-1
http://id.shvoong.com/law-and-politics/law/2093155-fungsi-hukum/
http://www.blogster.com/stainmanado/analisis-tentang-tujuan
Subscribe to:
Posts (Atom)